1. Prolog

82 14 10
                                    

Sebagian mereka yang menghampiri hanya membuat diriku menderita saja.
Dunia yang menyadarkan akan siapa diriku membuat semua orang terperangah.
Jangan anggap dunia ku menjadi sepi. Karena, penilaian kalian yang menganggap aku tak mampu berbuat apa-apa.
Ini hidupku, dan cemooh kalian bukanlah musuh terbesarku, melainkan aku.
Tuhanpun percuma ,dia memalingkan diri pada rapuhnya jiwa.
Berpijak tanpa ada topangan, tidak membuatku hancur. Layaknya butiran tanah, inilah aku. Jangan sumbangkan kedustaan dengan pura-pura mengkasihani kebodohanku.
Pergilah, dan maaf apabila kalian risih atau takut denganku.
 

********

Hari ini Aryn memutuskan untuk pergi ke psikiater, karena ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tadinya, Ribal—kekasihnya ingin menemani Aryn tapi ia menolaknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Lagipula Aryn sudah terbiasa sendiri walau statusnya sudah punya kekasih.
Takdir menuntun Aryn untuk mendatangi Rumah sakit. Ia juga tidak paham mengapa langkah kaki membawanya ke tempat yang memiliki dominan putih itu. Suasana hati yang tak menentu serta rasa putus asa yang terlalu akut mengusik dirinya sejak tiga bulan yang lalu. Awal bulan ia acuh dan menganggap itu adalah hal yang normal. Namun, hari ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Harinya selalu diliputi kecemasan, kegundahan, kesenangan yang tidak menentu dan parahnya lagi ia sempat berdiri dengan wajah lusuh menantang kedatangan kereta api. Untungnya Ribal datang di saat yang tepat. Ia menarik tubuh Aryn hingga tersungkur jatuh.

“Kecemasan yang kamu rasakan sudah lama kan? Kenapa baru sekarang datang ke rumah sakit?” tanya Dokter spesialis kejiwaan tersebut dengan nada penekanan.

“Aku merasa tidak yakin saat itu. Dengar! Aku datang kesini bukan untuk mendengar omelan mu. Aku mau berobat, langsung pada intinya aku sakit apa!” bentak Aryn, sembari memukul meja di hadapannya.

Dokter itu menarik napas dan membuangnya kasar. “Ya, kamu mengidap penyakit mental illenss. Dan kamu harus melakukan psikoterapi dan pengobatan denganku.”

Aryn mengangguk dan menatap dokter itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. “Makasih,” ucapnya.

Ia keluar dari rungan dokter tersebut.
Langkah kaki yang gusar membelah lorong Rumah sakit yang sepi. Dugaan itu? Ternyata benar. Berselancar pada internet sejak tiga bulan yang lalu tidak membuat waktunya sia-sia. Kondisi jiwa yang selalu mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis telah menguasai jiwa yang sedikit rapuh dan sedikit kuat layaknya baja.

Aryn tertawa terbahak-bahak membuat orang-orang yang ada disekelilingnya menghujaninya dengan tatapan bertanya-tanya. Ada apa dengan wanita itu?

Aryn berhenti dari langkahnya dan membalas sengit tatapan orang umum tadi. Karena takut akan menimbulkan suasana ricuh, Aryn melanjutkan langkah kakinya sembari tersenyum lebar.

“Jadi aku gadis gila? Benarkan, dugaan ku selalu tepat? tidak pernah melesat sama sekali. Oke… , aku gila. Aku terima kalau aku gila. Horee!!! Aku gilaa!!!”

Rasa itu menyergap jiwa Aryn dalam seperkian detik. Ia berlari tidak tentu arah. Bahkan ketika melintasi jalan raya tanpa menoleh kanan kiri ia tetap berlari.

Menyebabkan keributan dimana-mana. Lampu hijau dari arah kiri membuat berbagai macam kendaraan seperti mobil, sepeda motor, truk, dan lainnya memijak gas kencang hendak melaju namun terhenti mendadak. Sebab, Aryn berlari ke tengah jalan raya. Dia terkepung di tengah jalan raya dikelilingi kendaraan. Bahkan ada kendaraan yang saling bertabrakan karena dirinya.
Aryn menatap sekeliling dengan perasaan takut dan gemetar. Suara klakson berbunyi saling sahut menyahut membuat Aryn menutup telinganya rapat-rapat.

“Hentikan!” teriak Aryn.

Aryn terisak tangis sembari menutup mata dan menutup telinga dengan kedua tangannya. Tanpa Aryn ketahui, turun seorang laki-laki dari mobil dan mendekati keberadaannya.

Ia membisik pelan di telinga Aryn. “Tenanglah kamu akan baik-baik saja. Mari, saya hantar kamu ke pinggir jalan.” Pria itu menuntun Aryn ke bahu jalan.

Para pengendara bernafas lega dan mulai melajukan kendaraan mereka masing-masing. Aryn membuka matanya dan menatap sekilas wajah pria itu. Tanpa berkata-kata, pria itu langsung pergi dari hadapan Aryn. Perlahan punggung pria itu lenyap dari manik mata Aryn.

Aryn berlari tak tentu arah lagi. Sampai tiba di atas jembatan yang dibawah terdapat sungai berarus deras, tangisnya mereda. Ia memegang tangan jembatan menarik napas dalam lalu menjatuhkan diri ke bawah.

Derasnya air sungai membawa tubuh Aryn mengalir mengikuti lika-liku tubuh sungai.
Bukan tidak ingin menerima semua ini tapi, kenyataan ini membuat jiwanya semakin rapuh. Memang, ia sudah menduga dari awal. Tapi, pernyataan dokter bagaikan ribuan pedang menusuk tubuhnya, membuat sakit yang tak mampu untuk tertahankan lagi. Belum lagi bagaimana ia harus bersikap dan mengendalikan diri di depan umum. Hal ini sangat menyusahkan.

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang