Chapter 11

5 2 0
                                    

Umi pun melangkahkan kakinya mengikuti Dokter itu, Gibran yang penasaran dengan hasilnya ia pun berniat untuk mengikuti Umi.

"Aisyah, saya ikut dengan Umi boleh?"

Aisyah yang sedari tadi bingungpun hanya mengangguk pasrah dengan ucapan Gibran. Setelah mendapatkan antusias dari Aisyah Gibran pun pergi menyusul Umi dan Dokter tadi.

•••

"APA?!" teriak Umi tak percaya.

"Iya, pasien menderita penyakit ini sudah lama, tapi kenapa tidak melakukan pengobatan dan membiarkannya semakin parah," jelas dokter itu panjang lebar. Gibran dan Umi masih bingung dengan perkataan dokter tadi.

"Boleh saya tau penyebab dari penyakit ini seperti apa, Dok?" Tanya Umi, Gibran mencekal pergelangan tangan Umi dengan halus.

"Seseorang yang mengalami penyakit ini, tidak bisa mengontrol emosinya, mereka tidak bisa mengatur kondisi tubuhnya sendiri," ucap Dokter, yang membuat Gibran dan Umi semakin bingung harus melakukan apa.

"Seperti?" Gumam Gibran.

"Dia lebih mudah marah, nangis, maupun gembira dalam selisih waktu yang cepat,"

Gibran mengingat kejadian kemarin malam, ia menemukan Aryn didekat pohon sedang menangis, tapi tiba-tiba ia tertawa lepas dan … kembali menangis. Gibran mengangguk paham, ia menoleh ke arah Umi yang semakin bingung dengan semua ini.

Obrolan dengan dokterpun telah usai. Gibran dan Umi meninggalkan ruangan bernuansa putih itu dengan langkah gontai, bingung dengan apa yang harus mereka lakukan sekarang.

"Umi, Aisyah kemana?" tanya Gibran heran, ia tidak melihat sosok wanita itu diluar ruangan.

Gibran menyapu semua pandangan sudut demi sudut, tapi tetap saja Aisyah tidak ditemukan.

"Mungkin dia sudah pergi ke pesantren lagi, Bran," ucap Umi.

"Umi, lebih baik Umi telpon keluarganya," saran Gibran, yang mendapat anggukan dari Umi.

"Baik, Umi akan mencoba menelpon keluarganya,"

Umi melangkah menjauh dari Gibran, dilihatnya dari kejauhan ia mulai menelpon seseorang, tak lama kemudian terdengar suara Umi yang semakin meninggi. Gibran heran melihat tingkah Umi yang sepertinya terlilit emosi. Dengan cepat, Gibran mendekat kearah Umi, dan Umi mematikan sambungan telponnya secara sepihak.

"Umi … ada apa?" tanya Gibran.

"Gapapa Bran," balas Umi seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Umi tidak berbohong?" tanya Gibran memastikan.

"Sudahlah, ayo kita lihat Aryn," balas Umi cepat.

Gibran merasa aneh dengan tingkah Umi setelah menelpon keluarga Aryn, ada apa? Umi terlihat sangat aneh.

"Umi," panggil Gibran menahan tangan Umi.

Umi membalikkan badannya. "Gapapa, sudah. Ayo kita lihat Aryn," ucap Umi dibalas anggukan oleh Gibran. Gibran tak perlu tau masalah ini mungkin, pikir Gibran.

Gibran dan Umi masuk kedalam ruangan bernuansa putih yang melekat bau obat itu.

"Aryn …," lirih Umi mengelus-elus kepala Aryn dengan lembut.

Tes

Umi meneteskan cairan kristal dimatanya, Gibran terkejut dengan hal itu. Ia memeluk tubuh Umi dengan hangat.

"Umi kenapa?" tanya Gibran heran.

"Gapapa," balas Umi.

"Umi kenapa menangis, Umi jangan berbohong sama Gibran," ucap Gibran halus.

"Umi ga nangis, Kok," balas Umi cepat, mengelap matanya yang sudah basah dengan air mata.

"Umi kalo ada masalah bilang sama Gibran, Gibran gamau liat Umi sedih," tutur Gibran dengan senyuman dimulutnya, dan Umi membalas senyuman itu.

"Enghhh,"

Gibran dan Umi menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Aryn menggerakkan tangannya, ia sudah sadar. Gibran dan Umi tersenyum bahagia ke arah Aryn, Aryn pun membalasnya dengan sedikit kaku.

"Uu-mi," lirih Aryn pelan menoleh ke arah Umi.

"Iya, Nak?" Mendengar penuturan halus dari Umi, Aryn tersenyum lebar, membuat hatinya tergores melihat kondisi gadis remaja dihadapannya itu.

"Uu-u-mi, maaf-in Aryn, ya,"

"Aryn ngerepotin Umi," ucap Aryn terbata-bata.

"Gapapa, Umi ga merasa repot kok, Aryn harus banyak makan, biar cepet pulih," ucap Umi.

Gibran sedari tadi hanya melihat obrolan mereka berdua, dua wanita yang memiliki kecantikan paras dan hati, mungkin. Aryn juga memiliki kecantikan hati, walaupun dulu ia adalah gadis berandalan.

"Aww," lirih Aryn memegang kepalanya.

"Kamu kenapa, Nak?"

•••

"Zan, Ibu pengen ke pesantren Aryn," ucap seorang wanita paruh baya yang sedari tadi berjalan ke kanan ke kiri, seperti orang yang bingung.

"Mau apa, Bu?" Tanya Rizan.

"Ibu khawatir sama Aryn, Zan." tegas wanita tadi.

Wanita paruh baya itu adalah Dea, Ibu kandung Rizan, sekaligus Nenek kandung Aryn. Dea dan Hera memiliki sifat yang sangat jauh berbeda dalam mendidik Aryn.

Dea tidak peduli dengan kondisi Aryn, ia selalu memprioritaskan pekerjaannya dibandingkan keluarganya. Sedangkan Hera, 'Bangkrut perusahaan mudah untuk dikembangkan, sedangkan bangkrut kekeluargaan susah untuk dikembangkan.' kata-kata itu yang tertutur dimulut Hera. Wajar, Aryn lebih dekat dengan Hera, ibu kandung dari ibunya.

"Khawatir apa sih, Bu?!" tanya Rizan yang sudah kesal dengan tingkah Ibunya itu.

"Intinya Ibu pengen ketemu Aryn!" tegas Dea.

"Buat apa, Bu? Ibu kan benci sama Aryn, kenapa tiba-tiba Ibu pengen ketemu Aryn?" Tanya Rizan dengan entengnya.

Dea menghela nafas kasar melihat tingkah anaknya itu. Memang betul 'kan? Dirinya tidak menyayangi cucunya itu.

•••

"MAIZA!!!!!!" teriak Dira membahana, sampai terdengar kekamar asrama sebelah.

"MAIZA!! CEPETAN!!"

"Dir, jangan berisik-berisik, ada yang mengaji disana," ucap santriwati yang melewati kamar asrama Dira.

"Ups, sorry," Dira menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Berisik tau ga?!" Maiza datang tiba-tiba melempar satu buah bantal kearah Dira.

"ISH LO!!" teriak Dira merasa kesal.

"Ayo, katanya mau jenguk Aryn, cepet! Duduk di kasur Mulu lo!" cibir Dira.

"Lu yang lama bego!"

•••

Permainan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang