Dream (18+)

359 40 12
                                    

Mean duduk di sofa apartemennya malam itu. Setengah mabuk.

Di luar, langit tumpah. Air hujan memukul-mukul dinding kaca. Begitu deras sampai tampak berkabut.

Ia tidak ingin tidur. Tidur mengurungnya dalam dekapan mimpi buruk tanpa jeda.

Dia terjebak di dunia yang tidak lagi ia kenali. Dia tidak tahu kemana kakinya melangkah, dimana harus berpijak. Mean kehilangan arah.

Bagaimana mungkin, seseorang pergi tapi dia yang tersesat.

Dia bukan dirinya sendiri.

"Kamu terlihat menyedihkan." kata Dream. Ia meraih gelas kosong di tangan Mean, meletakkannya di meja.

Mean begitu sesak, begitu sakit. Seluruh beban menghimpitnya luar dalam. Dia tenggelam ke air gelap, terseret arus, sulit bernapas.

Kemudian Dream muncul. Ia ingin merasa paru-parunya terisi kembali.

Dia memberanikan diri untuk percaya lagi.

"Aku akan membantumu..." bisiknya lembut.

Mean tidak menolak saat Dream mendekapnya. Menyatukan mulut mereka.

Dream menempatkan diri di pangkuannya. Ia mengalungkan lengan ke leher dan punggung Mean seperti tentakel, melahap bibirnya, menghisap, melumat. Jemari Dream yang mungil terasa panas menyentuh kulitnya. Mean memejamkan mata.

Ciuman itu panas dan basah. Dream mendekap lebih erat, tubuhnya yang hangat menempel di atas tubuh Mean. Dengan gemulai ia bergerak ringan, menyentuh, membelai, menggesek, menenangkan, menghibur.

Hanya itu.

Mean tahu ia akan menyesal besok pagi. Seperti yang sudah-sudah. Tapi untuk saat ini. Sekali ini, ia ingin lupa. Ia ingin mati rasa.

Dream sudah sering melihat Mean seperti ini, tapi tetap saja ia terpesona. Mean begitu memukau. Mulutnya terbuka, napasnya memburu, urat-urat halus di lehernya mengencang, bulir keringat berjatuhan di kulitnya yang pucat.

Semakin cepat Mean bergerak, semakin ia kehilangan kendali. Matanya terselubung kabut pekat yang tidak terbaca. Dia berubah menjadi seseorang yang tidak dikenali.

Seberapa dalam Dream mencari, dia tidak pernah menemukan celah itu, seolah jalannya buntu.

Ia hanya mengetahui satu hal. Laki-laki itu memang tengah menatapnya saat ini, tapi ia tidak melihatnya sama sekali. Tidak sedetik pun.

Dream merasakan dingin menusuk tulang belakangnya meski mereka tengah berkeringat.

Ketika Mean hampir mencapai puncak, ia sadar laki-laki itu tengah berada di dunianya sendiri. Ia seperti tidak berada di sini.

Ia seolah berada jauh di suatu tempat.
Entah di mana.

Saat semuanya selesai, Dream merasa dirinya sendirian di ruangan sunyi itu. Sepenuhnya ditinggalkan.

.

.

.


TBC



April 14, 2021

BROKEN • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang