Phi Gong mengadakan reuni kecil menyambut kepulangan Plan. Teman-temannya diundang. Termasuk Mean. Mereka mengadakan api unggun di resort pinggir pantai.
Makan malam berupa Barbeque di halaman resort. Anak-anak muda itu sangat ribut dan berisik.
Setelah makan dan kekenyangan, mereka hanya duduk bermalas-malasan. Beberapa orang mulai minum sambil berkumpul melingkari api unggun.
Malam itu cerah. Setelah seharian hujan tumpah, langit kembali bersih. Debur ombak menghantam pasir. Sinar bulan remang-remang.
Mean berdiri menghadap laut.
Cahaya api unggun menyirami wajahnya.
Saat tahu dia akan bertemu dengan Plan, dia sudah meneguhkan hati. Hanya teman lama, rekan kerja, partner, kakak.
Kesadarannya melemah saat Plan pergi jauh, meninggalkan kesepian yang menyakitkan. Kini penyebab luka itu harus dia hadapi. Seperti merendam bekas sayatan di air garam.
Apakah dia akan pernah siap?
Ia menelan ludah.
Plan berjalan ke arahnya, percaya diri. Mean sadar ia tengah menahan napas.
Sejak datang ke sini ia belum ada kesempatan bicara berdua dengan Plan.
"Gimana kabarmu?" Plan berdiri di hadapannya.
Harus jawab apa?
Otaknya lupa berfungsi.
Aku gila. Aku hancur. Aku mati. Aku merindukanmu.
"Seperti yang kamu lihat, bahagia."
Mean yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Dia lebih pintar menyembunyikan rasa. Dia mahir berpura-pura.
"Bagus."
Hening beberapa saat. Mereka hanya berdiri berhadapan.
"Kamu akan di Thailand untuk seterusnya phi?"
Phi.
Tidak apa-apa. Sekarang sudah tidak sakit lagi.
"Iya." sahutnya pendek.
"Aku senang kamu kembali."
Sekilas, Plan melihat nada lega dalam suaranya. Jika tidak cukup mengenal Mean, dia pasti akan tertipu.
Angin yang bertiup menggiring aroma laut.
Entah didorong oleh apa, Mean melakukan sesuatu yang tidak Plan duga. Ia mendekatkan wajah, kemudian memberi ciuman ringan di pipinya.
"Selamat datang kembali phi."
Jantung Plan berdesir. Ternyata masih sama. Bagaimana ini?
Itu hanya kecupan. Sedetik. Kemudian Mean pergi. Tanpa mengatakan apa-apa.
Plan merasakan sesuatu yang aneh di wajahnya. Butuh sesaat untuk menyadari dia sedang tersenyum.
Tidak satupun dari mereka tahu, seseorang tersaruk-saruk pasir pantai. Ia berjalan menjauhi resort, menuju kegelapan, dimana tidak seorang pun melihat.
Dia begitu kuwalahan. Jika tidak segera menjauh dia akan meledak.
Di bawah bulan pucat sehabis hujan seharian, Mean ambruk di atas pasir. Ia jatuh berlutut di pantai yang sepi. Debur ombak menyamarkan isakannya.
Ia mencengkeram dada kuat-kuat. Berharap ada rasa sesak, rasa sakit. Seberapapun keras mencari, yang ia sadari hanya satu hal. Perasaan asing yang sudah lama ia lupakan.
Bahagia.
Mean mengira dirinya baik-baik saja. Dia mengira dirinya sudah sembuh. Ternyata ia menanggung lebih parah dari yang ia duga.
.
.
.
TBC
April 14, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN • END
ФанфикTidak apa-apa, luka akan sembuh, pikirnya. Ia menghirup udara, lagi dan lagi. Panik dan ketakutan. Seolah dirinya ditenggelamkan hidup-hidup. Dia bertahan sejauh ini. Mati-matian berusaha menutup lubang yang menganga. Mengisi dengan apapun yang bi...