Langit kelabu tanpa percikan cahaya. Tidak ada bulan, tidak ada bintang. Hanya awan gelap yang bergerak lamban. Bahkan lampu temaram bersinar samar-samar diselimuti kabut. Udara berat. Malam pekat.
Satu rintik disusul rintik lainnya.
Air hujan menabrak dinding kaca. Segalanya menjadi buram. Bayangan di luar mengabur. Putih pudar beriak-riak.
Ruangan itu hampa cahaya. Diselimuti kegelapan total, sosok itu berdiri diam bagai manekin. Kegelapan menguburnya dalam-dalam.
Selain suara derai hujan di luar, ruangan itu benar-benar sunyi.
Plan berdiri menghadap dinding kaca apartemennya. Ia memandangi air hujan yang jatuh begitu deras.
Kilat sesekali menyambar, cahayanya menampar wajah Plan yang datar.
Kadang dia mulai terbiasa dengan rasa dingin, atau mungkin ia sudah terlanjur kebal hingga tidak bisa lagi merasakannya.
Suara bel empat kali di pintu membuat sudut bibir Plan terangkat.
Seharusnya tidak secepat ini.
Ia beranjak untuk membukanya.
Mean berdiri di sana. Kalut. Kemejanya kusut, rambutnya berantakan, wajahnya pias, tapi matanya menyala. Mean mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal.
"Seharusnya nggak kayak gini..." Mean menyembur. "Seharusnya dia bilang kalau ada masalah. Dia nggak bilang apa-apa. Dia nggak bilang kalau diteror haters. Tiba-tiba aja dia kedapatan bawa barang terlarang. Itu kayak bukan dirinya. Aku nggak bisa menanggung ini semua. Aku nggak siap..."
Tiba-tiba Mean roboh. Ia ambruk di bahu Plan. Seluruh energinya terkuras, tenaganya menguap, ia kehilangan kekuatan dan membiarkan kepalanya terkulai di pundak Plan.
Ini agak lebih cepat dari prediksi.
"Kamu masih punya aku."
Mean menarik diri, menempelkan keningnya di kening Plan. Ia bisa merasakan napas hangat menyapu wajahnya.
Plan mendongak untuk memandangnya. Matanya tajam dan membara, seolah ia mengerahkan seluruh pengendalian diri yang ia miliki.
Tanpa aba-aba, ia menangkup wajah Plan, meraup bibirnya dengan ganas. Ciuman itu dalam, basah, panas. Mean menuntut terlalu banyak, hingga Plan kehabisan napas.
"Meaanh..." Plan menegur agar Mean lebih lembut, tapi suaranya terdengar seperti desahan. Mereka bahkan masih di lorong apartemen.
Mean semakin terpacu. Ia kesetanan.
Plan terengah-engah.
Segalanya bergerak lambat.
Waktu memudar di sekitar.
Plan sama sekali tidak terkejut. Semua terprediksi. Dia punya kendali. Yang ia tidak duga, Mean akan mendatanginya malam ini. Secepat ini.
Plan membenamkan wajah ke ceruk leher Mean. Menghirup aromanya. Kemudian perlahan, ia menggesekkan bibirnya ke telinga Mean dengan ringan, sambil membisikkan sesuatu.
Mean merinding. Sekujur tubuhnya gemetar.
Apapun yang Plan bisikkan di kupingnya membuat pemuda itu memeluknya semakin erat.
Mean meraup bibir Plan dengan kasar. Rasa manis yang menggoda hingga nyaris terasa bagai dosa.
Ciumannya dalam, menuntut.Ia mengangkat tubuh Plan tanpa memberi jeda pada ciumannya. Plan melingkarkan kakinya di pinggang Mean, kedua lengannya menggelayut di leher mantan kekasihnya itu.
Hujan di luar, udara dingin menusuk kulit. Tapi kamar itu terasa panas. Mereka bergerak liar. Keduanya terbakar.
Sedetik kemudian, pintu apartemen tertutup rapat di belakang mereka.
.
.
.
END
May 1, 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN • END
FanfictionTidak apa-apa, luka akan sembuh, pikirnya. Ia menghirup udara, lagi dan lagi. Panik dan ketakutan. Seolah dirinya ditenggelamkan hidup-hidup. Dia bertahan sejauh ini. Mati-matian berusaha menutup lubang yang menganga. Mengisi dengan apapun yang bi...