Bab 11

77 6 4
                                    

Dira terbangun ketika alarm di ponselnya bunyi berulang kali. Mamanya juga membangunkan Dira untuk bersiap. Setelah 5 menit dia duduk di kasurnya, Dira pun membersihkan dirinya terlebih dahulu.

"Ya Allah, lancarkanlah segala sesuatu yang akan kami lakukan hari ini. Jadikanlah aku sebagai istri yang baik dan soleha untuk ustadz Agam, nantinya."

Mereka berhasil melewati permasalahan tersebut setelah Agam berani menjelaskannya secara detail. Agam pun sempat memilih jalur hukum untuk mencari penyebar berita tersebut. Ternyata benar dugaannya jika Bina yang melakukannya, namun Dira meminta Agam untuk tidak memenjarakan Bina.

Agam pun juga bersiap untuk acara pernikahan mereka. Acara ijab nya dilaksanakan di rumah Dira. Dira mulai dirias di kamarnya sambil sesekali melihat jam yang ada di meja.

Semakin dekat dengan jadwal pernikahannya, jantung Dira semakin berdegub kencang. Dia sangat gugup untuk bertemu dengan Agam hari ini. Sedangkan Agam sudah siap dan segera menuju rumah Dira.

Sungguh rumit perjalanan mereka. Namun atas izin Allah, mereka pun bisa melewati segala hambatan yang ada dan berhasil bersatu dalam pernikahan.

"Nama panjang ku? Anindira Syifani. Apa ustadz ingin menghafalkan nama ku untuk ijab qobul nanti?"

Agam tersenyum sendiri mengingat pertemuan mereka. Gadis itu asal bicara namun ucapannya menjadi kenyataan.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, wah sudah pada datang. Mari masuk," ucap mama Dira.

Acara pun segera dimulai. Dira mendengar dari kamarnya bagaimana Agam menyebut namanya saat ijab qobul. Dira tidak kuasa menahan air matanya karena dia sudah menjadi istri Agam.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Galen Agam Magentha bin Hassan dengan putri saya, Anindira Syifani binti Rezky. Dengan mahar berupa uang, lima puluh juta rupiah dan emas lima puluh gram di bayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Syifani binti Rezky, dengan mahar tersebut, dibayar tunai!" ucap Agam dalam sekali percobaan.

"Bagaimana para saksi?" tanya sang penghulu pada kedua orang yang duduk diantara mereka.

Kedua orang itu mengangguk. "Sah."

Dira merasa lega mendengar itu. Mereka pun berdoa terlebih dahulu sebelum Dira diantar oleh sang mama menuju Agam. Setelah berdoa, Mama Dira mengantarkan Dira. Senyuman Dira tercetak saat melihat keluarga Agam. Dira mencium punggung tangan Agam kemudian Agam mendoakan istrinya dan mencium kening sang istri.

Mereka berlutut di hadapan orang tua mereka. Hal yang sangat mengharukan. Acara resepsinya akan diadakan saat malam hari. Setelah bersalaman dengan keluarga dan teman dekat, mereka berdua melakukan foto.

Agam tersenyum lebar menatap istrinya yang sangat cantik. "Jangan menatap ku."

"Tersenyumlah, setelah ini kita bicarakan apa yang masih mengganjal di hati mu." Dira menunjukan senyumannya di kamera. Dira menatap Agam yang mengerti dirinya jika ada yang mengganjal dalam hatinya.

Selesai berfoto, mereka memutuskan untuk ke kamar. Dira ingin mengganti pakaiannya. Agam menemani sang istri yang sedang melepaskan riasannya di kepala.

Dira pun ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Agam menunggunya di ranjang sambil memainkan ponselnya. Dira keluar dengan wajah tanpa riasan.

"Ustadz, aku lapar."

"Ayo, kita makan terlebih dahulu," ucap Agam. Tangan Agam menggenggam tangan Dira. "MasyaAllah, gadis ini sangat cantik."

"Terima kasih."

"Setelah makan, saya minta, kamu mengatakan apa yang mengganggu pikiran mu."

"Oke."

"Agam, ada Bina datang," ucap ibu Agam dari luar kamar. "Ibu harus mengurus yang lain, tolong kamu temui sebentar."

Mereka pun segera menuju ruang tamu. Agam tersenyum dan menyambut keluarga Bina. Dira bersalaman dengan keluarga Bina dan juga Bina. Nenek Agam ikut bergabung dengan mereka.

"Kamu ingin makan duluan?" tanya Agam.

Dira menggeleng. "Aku makan sama ustadz Agam saja, nanti."

"Jadi ini istri Agam," ucap mama Bina.

"Iya tante," ucap Agam.

"Ternyata cantikan Bina," ucap papa Bina.

Dira hanya diam mendengar itu. Agam menggenggam tangan Dira. "Di mata saya, Dira sangat cantik."

"Belum tentu hidup Agam bahagia. Apalagi Dira ini perempuan yang manja," ucap nenek Agam.

Dira hanya diam mendengar ucapan nenek Agam. Memang sampai sekarang, terlihat nenek Agam yang tidak menyetujui pernikahan mereka.

"Nenek, doakan untuk cucu yang baik-baik," ucap kakek Agam.

Agam menatap Dira. Tanpa Dira bicara, Agam tahu perasaan Dira. "Sayang, makan dulu, yuk," ajak Agam.

"Oh iya, silahkan makan hidangan yang ada," ucap kakek Agam.

"Mas, Dira ke toilet dulu ya." Agam mengangguk.

Dira memilih untuk ke toilet kamarnya. Dia menangis di hari pernikahannya. Mendengar ucapan nenek Agam dan orang tua Bina tadi, dia makin merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Agam. Ditambah Dira merasa jika harga dirinya sangat rendah karena orang-orang berpikir jika Dira merebut Agam.

Agam menunggu Dira keluar dari toilet. Saat Dira keluar, dia terkejut dengan kehadiran Agam dan segera mengusap wajahnya. Dengan segera Agam memeluk Dira.

"Apa yang mengganggu pikiran mu dan membuat mu menangis seperti ini?" tanya Agam.

"Ustadz Agam, ucapan orang tua Bina dan nenek sangat menyakitkan. Dira takut jika ucapan nenek menjadi kenyataan, Dira takut tidak bisa membahagiakan ustadz."

Agam mengusap kepala Dira. "Saya minta maaf karena ucapan mereka yang menyakiti mu."

"Dia bahkan lebih baik dari ku."

"Jangan membandingkan diri mu dengannya. Saya tulus mencintai mu, Dira." Agam menghela nafasnya.

"Aku merasa tidak punya harga diri karena merebut tunangan orang." Dira menatap lekat wajah Agam. "Dira takut jika nantinya mas Agam diminta menikahi Bina."

Agam masih diam karena Agam tahu masih ada yang ingin dibicarakan oleh Dira. Dira mulai sesenggukan karena tangisannya.
"Harusnya ustadz tidak perlu melakukan ini karena aku hampir berhasil menjauh dan melupakan ustadz. Apa aku terlalu mengganggu ustadz? Atau beberapa orang meminta ustadz menikahi ku? Harusnya ustadz menikahi Bina saja agar tidak muncul masalah seperti ini."

"Tidak ada yang meminta saya untuk menikahi mu dan saya tidak ada niat sedikit pun untuk menikahi Bina." Agam berlutut dan mencium tangan istrinya. "Saya benar-benar mencintai mu dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki. Saya dan Bina benar-benar hanya berkenalan saja, belum ada tunangan ataupun merencanakan pernikahan. Saya memang salah karena terlambat menyadari kalau saya menyukai mu."

Dira menatap Agam. "Ustadz tidak perlu begini." Sambil menarik pelan tangan Agam agar Agam duduk di sampingnya.

"Biarkan saya berjuang untuk mendapatkan keyakinan hati mu juga." Agam menolak untuk bangun dari posisinya.

Dira menangis mendengar itu. Agam pun berdiri kemudian memeluk Dira, tangannya mengusap hijab Dira. "Dira yakin jika Dira masih menyayangi ustadz, tapi Dira takut kalau nantinya pernikahan kita justru menjadi masalah."

"Percayalah, Allah akan selalu membantu kita menyelesaikan masalah kita. Kamu tidak perlu takut, kita hadapi ini bersama." Agam mengusap wajah Dira kemudian mencium kening Dira. "Sudah masuk waktu dzuhur, kita sholat dulu yuk sebelum makan."

Sholat wajib pertama yang mereka lakukan berdua. Agam menatap wajah Dira. Merasa ditatap, Dira menatap Agam dan tersenyum. Agam mulai mengimami sholatnya.

Selesai sholat, mereka pun segera mengambil makanan. Agam makan satu piring dengan Dira, juga meminta Dira menyuapinya. Mereka makan dengan Keysha dan juga Azzam.

Ustadz, I'm in Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang