Bab 18

70 9 1
                                    

"Dira kamu pucat sekali?" tanya tante Agam.

Ibu Agam datang memberikan minum pada Dira. "Minum dulu. Iya, kamu pucat sekali," ucap ibu Agam.

Dira tersenyum. "Mungkin karena Dira tidak memakai riasan, bu."

"Tante Dira..." teriak Rachel, kakak Arka yang datang membawa es krim.

Dira memeluk Rachel kemudian melihat kantung plastik yang Rachel bawa. "Wah, banyak sekali es krimnya."

"Tante mau?"

Dira menggeleng. "Kamu makan dulu sama Arka ya, tante mau sholat dulu."

"Ante, nanti main tsama Alka ya."

"Iya, sayang." Dira mengusap kepala Arka. "Tan, Dira sholat dulu ya."

Dira ke kamar Agam untuk sholat. Setelah Dira selesai wudhu, dia langsung melaksanakan sholat. Kepalanya terasa semakin sakit dan perutnya juga terasa sakit.

Beberapa lama, Dira tidak kunjung kembali. Hingga ibu Agam meminta Arka dan Rachel memanggil Dira.
"Arka sama Rachel lihat tante Dira, kalau sudah selesai sholat ajak tante Dira makan siang," ucap ibu Agam.

"Siap, kapten," ucap Rachel dan Arka bersamaan.

Agam menatap sang ibu. "Dira ke sini bu?"

"Iya, tadi dia naik taksi. Kata kamu Dira ada urusan kampus."

"Hm, sepertinya Agam salah info." Agam berjalan mengambil makanan di meja makan.

Arka dan Rachel membangunkan Dira namun Dira tidak bangun. Arka pun berlari keluar kamar untuk memanggil sang mama. Mamanya terkejut karena Arka menabraknya saat dia sedang memindahkan makanan.

"Jangan lari-lari, sayang. Nanti jatuh."

"Ma, ante Dila, tidul di lantai, hidungnya berdalah. Ante Dila tidak bangun, ma."

Agam segera menaruh piring makanannya dan menuju kamarnya. Melihat Dira tergeletak di lantai dengan mukena yang masih melekat. Agam segera memindahkan tubuh Dira ke kasur kemudian membersihkan darah yang keluar dari hidung Dira.

Bukan Agam tidak ingin mengajak Dira, tapi Agam tahu jika Dira sedang sakit. Semalam saat dia ingin mengambil kabel ponsel di kamar mereka, Agam melihat Dira menggigil meskipun pendingin ruangan mati dan dia menggunakan selimut.

"Dira kenapa, Gam?" tanya ibu Agam.

"Tuh kan Dira sakit, kamu gimana sih, bisa tidak tahu kalau istrinya sakit? Memang tidak dibawa ke dokter?" tanya tante Agam.

Tangan Agam menggenggam tangan Dira kemudian menciumnya berkali-kali. "Bangun, sayang."

"Ma, ante Dila kenapa?" tanya Arka.

"Tante Dira sakit."

Papa Arka yang berprofesi sebagai dokter, masuk ke kamar Agam untuk mengecek keadaan Dira. Wajah Dira sudah sangat pucat dan demamnya kembali tinggi.

"Bawa Dira ke rumah sakit saja, Gam," pinta papa Arka.

Agam segera menggendong Dira ke mobil. "Biar Agam saja yang membawa Dira ke rumah sakit. Nanti Agam kabari kondisi Dira."

"Hati-hati ya Gam."

Agam membawa Dira ke unit gawat darurat di rumah sakit itu. Sambil Dira diperiksa, Agam mengurus administrasi Dira. Agam menunggu Dira, saat dokter keluar, Agam segera bertanya kondisi Dira.

"Saudari Dira sudah sadar dari pingsannya. Kalau dari gejalanya, saudari Dira ini terkena tipes dan juga asam lambung, namun kita juga masih menunggu hasil laboratorium darahnya. Saran kami, lebih baik saudari Dira di rawat beberapa hari di sini, agar bisa kami pantau."

Agam mengusap wajahnya gusar. "Lakukan apapun yang terbaik untuk istri saya. Boleh saya lihat istri saya?"

"Tentu, silahkan."

Agam melihat Dira yang sedang diinfus dengan wajah yang sangat pucat. Air mata Dira mengalir melihat Agam berdiri di hadapannya. Agam mendekati Dira kemudian menggenggam tangan Dira dan mencium kening Dira.

"Maaf," ucap Agam.

"Mas Agam kenapa tidak mengajak ku ke rumah ibu? Apa karena ada Bina?" tanya Dira menangis.

Agam menggeleng memeluk Dira yang bersandar. "Saya tahu kamu sedang sakit makanya saya tidak mengajak mu. Niatnya saya ingin sebentar saja di rumah ibu karena saya ingin mengantar mu ke dokter, tapi ternyata kamu menyusul saya."

"Mas, soal foto itu, Dira bersumpah kalau—"

"Sudah. Saya sudah mendengar cerita ibu. Saat itu ada ibu juga sama mama kan?"

Dira mengangguk. "Lalu foto mas Agam bersama Bina, apa kalian ada kerjaan bersama?"

"Tidak. Saya baru ingat, setelah makan siang memang saya bertemu Bina tapi hanya sebentar karena saya dan staff terburu-buru."

Dira menghela nafasnya. "Mas waktu itu ibu bilang ada yang keluar dari halaman rumah kita. Ibu pikir itu teman ku, tapi sepertinya dia yang mengambil foto ku dengan Adit."

"Ya sudah, maafkan saya ya karena sudah salah paham."

"Iya, Dira mengerti mungkin karena mas Agam lelah waktu itu. Dira juga pusing waktu itu mas, jadi Dira malas membicarakan masalah."

Tangan Agam mengusap kepala Dira. "Kamu istirahat ya."

"Sampai sekarang Dira bingung, kenapa ada foto ku dengan Adit juga ada foto mas Agam dengan Bina?"

Agam mengecup kening Dira. "Mungkin ini cobaan untuk kita. Setelah kejadian ini, kita harus menaruh kepercayaan yang lebih antar satu sama lain."

"Mas, bolehkah aku minta kita liburan bersama?" tanya Dira.

"Tentu. Setelah kamu sembuh, kita liburan ya."

Dira mengangguk. "Terima kasih mas."

Sang dokter memanggil Agam untuk menjelaskan penyakit Dira. Agam pun memilih agar Dira dirawat di rumah sakit itu terlebih dahulu. Seorang perawat memberikan arahan pada Agam untuk mengurus administrasi agar Dira dipindahkan ke ruang rawat.

Dira pun dibawa ke ruang rawat oleh perawat bersama Agam. Agam mengabari sang ibu dan mama Dira jika Dira dirawat di rumah sakit karena penyakitnya. Tangan Agam menggenggam tangan Dira.

"Nanti kalau ibu ke sini, saya pulang dulu ya mengambil pakaian mu dan mungkin saya akan izin dari kerjaan untuk menjaga mu."

Dira menatap Agam. "Mas, tidak apa kalau mas Agam kerja. Kan ada mama."

"Tidak apa, biar saya izin saja." tanya Agam.

"Terima kasih ya mas, maaf Dira merepotkan."

"Tidak, kamu tidak merepotkan saya."

Keluarga mereka datang ke ruangan Dira. Dira tersenyum memberikan pertanda jika dia baik-baik saja. Ibu Agam dan mama Dira memeluk Dira yang terbaring di rumah sakit. Dira menatap Bina yang berdiri di samping nenek Agam.

"Agam ambil pakaian Dira dulu di rumah," ucap Agam kemudian pergi dari ruangan itu.

Agam juga sudah meminta tolong pada sang ibu untuk menyuapi Dira. Tubuh Dira terduduk ketika ibu Agam menyuapinya.

"Haduh, kamu ini merepotkan sekali," ucap nenek Agam.

Dira menatap mamanya memberi kode untuk tidak menjawab ucapan nenek Agam. Kakek Agam pun menarik istrinya keluar dari ruangan. "Nenek begitu tidak sopan di depan orang tua Dira."

"Kan memang dia merepotkan."

"Kita hanya menjenguk dan Dira tidak meminta apapun pada kita."

"Tapi dia merepotkan cucu ku."

Kakek Agam menghela nafasnya. "Terserah nenek. Mau sampai kapan seperti ini? Sadarlah, Agam tidak mungkin dengan Bina. Apa nenek mau jika kakek menikah lagi?"

"Apa kau ingin aku hajar?" tanya sang istri.

"Pikirkan perasaan Dira dan Agam, mereka saling mencintai, jangan merusak hubungan mereka."

Kakek Agam meninggalkan istrinya untuk kembali ke ruang rawat Dira. Dira hanya menyuap beberapa makanan saja karena dira merasa mual. Mungkin ini karena efek dari masalah pada lambungnya.

Ustadz, I'm in Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang