Selamat datang, selamat menbaca.
***
Dahi Zealire berkerut tipis usai mendengar perkataan Doxi. Dia menatap seseorang di sampingnya ini. "Apa yang membuatku harus curiga pada Shaq? Dia baik, ramah, melindungiku. Lagi, jika aku tidak percaya padanya, mustahil aku memberi tahu tentang peta itu."
Doxi balas menatap Zealire lekat. Dalam benaknya ada satu pertanyaan. Mengapa Zealire sepercaya itu pada Shaq? Padahal, dari pandangan Doxi, Shaq tidak sebaik itu. "Terserah padamu," ucapnya malas. Dia sebenarnya juga heran mengapa mau membantu Zealire sampai jauh ini.
"Ah, sudah. Ayo, selanjutnya mau bagaimana? Waktumu tinggal satu hari lagi, 'kan?" tanya Doxi dingin.
Zealire terdiam. Dia bingung akan semuanya. Apa langkah selanjutnya? Masih ada waktu satu hari lagi jika ingin berusaha, tetapi hati gadis ini masih tetap bingung. Dia tidak ingin menjadi beban bagi Doxi dan Shaq lebih lama lagi. Namun, di sisi lain, dia juga tidak mau mengecewakan Tuan Xylo. Serbasalah.
"Hah, dasar beban. Sekali beban tetap beban. Ayo, ikut aku, kita mencari lebih lama lagi. Kamu bisa berjalan sendiri, 'kan?" tanya Doxi setelah mengetahui Zealire kebingungan. Mau tidak mau Doxi harus membantu Zealire, lagi.
Zealire mengangguk ragu. Doxi mulai bangkit dari duduk, kemudian dia mengajak gadis di sampingnya untuk ikut. Mereka kembali menyusuri mercusuar, mencari keberadaan peta.
Kurang lebih sudah tiga puluh menit Zealire dan Doxi mondar-mandir mencari peta. Akan tetapi, sama sekali tidak menghasilkan. Zealire semakin merasa usahanya sia-sia. Dia akan gagal, dia merasa tidak mungkin untuk kembali bertemu dengan Trapesium, Freqiele, dan Jocelyn.
"Ah, sudahlah ... Doxi, aku pasti gagal. Tinggalkan aku." Zealire terduduk di tempat. Dia merasa benar-benar putus asa, menyerah. Apalagi melihat tadi Shaq yang kesakitan akibat dirinya. Benar kata Doxi. Zealire memang beban, sekali beban tetap beban.
Doxi tersenyum. "Kenapa?" Lelaki itu semakin mendekat ke arah Zealire. Lalu, dia tersenyum tipis. Sementara Zealire tak mengerti, dia mendongkak, menatap Doxi yang juga sedang berdiri menatapnya.
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kamu tidak menyerah dari awal?" tanya Doxi meremehkan. Membuat dada Zealire sesak. Benar juga, kenapa dia baru menyerah sekarang? Setelah merepotkan banyak orang baik. Mengapa dia tidak menyerah dari sejak pertama ditugaskan untuk ke bleedpool?
"A-a-aku ...." Zealire tak mampu melanjutkan sanggahannya.
Doxi berdecih, dia tidak suka orang yang bertele-tele. Lelaki itu medekatkan wajahnya ke arah Zealire. Menatap dalam gadis di hadapannya. "Kenapa? Karena kamu yakin bisa menyelesaikannya. Lalu, mengapa sekarang tiba-tiba ingin menyerah? Ingat, kamu sudah merepotkan banyak orang. Terutama aku."
Doxi mengulurkan tangan kirinya. "Ayo, cepat berdiri. Jangan membuang waktu. Aku yakin kamu bisa. Jangan biarkan bantuanku selama ini sia-sia," ucap Doxi yang akhirnya membuat Zealire tersenyum.
"Terima kasih, Doxi," balas Zealire sembari menerima uluran tangan dari Doxi. Iya, seharusnya Zealire sadar, dia sudah merepotkan banyak orang. Tentu gadis itu harus mencapai tujuannya.
Doxi tersenyum tipis. "Aku hanya tidak mau usahaku membantumu sia-sia."
Mereka kembali berjalan, menyusuri setiap inci tanpa ada yang terlewat. Barangkali sejak tadi mereka sudah menadapat petunjuk, tetapi tidak menyadari.
"ZEA!" Di saat Zealire dan Doxi sedang berusaha mati-matian mencari, tiba-tiba suara berat nan melenggar milik Shaq. Sontak Zealire dan Doxi menoleh secara bersamaan menuju sumber suara.

KAMU SEDANG MEMBACA
BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]
Fantasy[SUDAH TAMAT] Zealire Vurbent harus melanjutkan misi mencari peta hanya dalam waktu tiga hari. Bleedpool bukan tempat yang ramah untuk disinggahi. Perampok, bajak laut, penjarah, pembunuh, pengedar, bahkan semua jenis pelaku kejahatan ada di sana. M...