Nineteen

8 2 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

"Shaq, aku sangat senang bisa menemukan petanya! Sungguh, aku juga tidak menyangka ada di lampu mercusuar itu."

Sambil mendekap kertas besar yang digulung, Zealire terus-menerus menggumam tentang betapa senangnya dia. Mereka dalam perjalanan menuju penginapan, tanpa Doxi. Shaq memaksanya untuk tidak merepotkan lelaki itu dan menginap di tempat Baron. Zealire sudah menyuarakan ketakutan tentang Baron, tetapi Shaq berjanji akan menjaganya.

"Janji muluk-muluk. Jangan percaya padanya!" kata Doxi sebelum pergi. Zealire tentu memilih mempercayai Shaq. Jujur, dia tidak enak hati menginap tiga kali di rumah Doxi.

Sambil merangkul Zealire, Shaq menuntunnya untuk menyelinap. Tengah malam, sangat rawan di Bleedpool. Mereka sampai di penginapan dengan selamat. Kamar Zealire dalam kondisi siap pakai karena dia memesan untuk tiga hari. Setelah mengancam Baron, Shaq membawa Zealire untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Zea, sampai kapan akan kamu peluk peta itu?" Shaq mengambil peta dalam dekapan Zealire, lalu membukanya. Terpampang tulisan "EMPCOUNT". Lelaki itu menyeringai, dan meletakkannya di meja.

"Kenapa kamu tidak memelukku saja ketimbang peta itu? Aku sudah membantumu mencarinya." Shaq berjongkok di depan Zealire yang duduk di tepi ranjang, melepas sepatu gadis itu.

Wajah Zealire panas. Malu-malu, dia berucap, "Jadi, aku harus memelukmu karena sudah membantuku?"

"Lebih dari itu."

Eh? Zealire bingung. Dia menggeleng untuk mengenyahkan pikiran aneh. "Maksudmu?"

Shaq menarik pundak Zealire agar bangun, mereka kini berdiri berhadapan dengan jarak dekat. Zealire bisa melihat rahang tegas Shaq dengan jelas. "Apa kamu tidak memiliki rasa padaku? Jujur, aku tertarik padamu. Kamu manis."

Zealire ingin menunduk, karena lagi-lagi pipinya bersemu, tetapi Shaq menahan dagunya. Mata itu ... benar-benar menjerat Zealire! Dia pasti sudah gila dengan apa yang terjadi selanjutnya. Ibu jari Shaq mengusap bibir Zealire. Gadis itu memejamkan mata.

Suara serak terdengar dekat di telinganya. "Aku menginginkanmu, Zea. Bolehkah?"

Matanya kembali terbuka. Wajah mereka sangat dekat. Zealire melihatnya, sesuatu dalam iris mata Shaq yang menaruh minat padanya. "Shaq, tapi–"

Kata selanjutnya tidak terucap. Zealire terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Dia mencengkeram bahu Shaq, sementara lelaki itu menahan tengkuknya dengan tangan kiri. Bibir mereka asyik berjibaku, saling mengaitkan lidah. Zealire sudah tidak waras. Kesadaran terkalahkan dengan hasrat yang menginvasi kendali otaknya. Hanya ada Shaq di sana. Apa pun itu, mungkin memang hanya pantas diberikan untuk Shaq.

Kegiatan mereka berhenti. Zealire cepat-cepat meraup banyak-banyak oksigen, napas tidak beratur. "Shaq, aku mencintaimu. Hatiku sudah milikmu, maka ...." Zealire menelan ludah ketika melihat tatapan jahil Shaq.

Pipinya bersemu dengan posisi mereka sekarang. Entah sejak kapan, sudah berbaring di ranjang. Sial, sial, sial! Dia malah mengagumi pahatan wajah Shaq yang ada di atasnya.

"Maka? Ayolah, Nona. Jangan membuatku menunggu lama."

Zealire tertawa pelan. Benarkah apa keputusannya? Namun, satu hal yang benar. Dia mencintai Shaq. Sangat. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Gadis itu mengangguk. Lalu memejamkan mata saat berkata, "Maka semua yang kupunya adalah milikmu juga."

Shaq menyeringai. "Terima kasih, Zealire. Kupikir sesuatu di meja itu juga milikmu karena ia memilihmu."

Gadis itu tidak begitu mencerna ucapan Shaq. Dia waswas saat melihat si pujaan hati bangkit dan ... melepas baju! Zealire ingin teriak. Matanya ditutup dengan kedua tangan. Tawa Shaq terdengar, lalu kasur bergoyang karena beberapa bagian melesak masuk. Zealire bisa merasakan hawa-hawa jika ada Shaq di dekatnya. "Aku jadi ragu kamu benar mencintaiku, Zea."

BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang