Selamat datang, selamat membaca.
***
Pintu kamar yang ditempati Zealire semalam itu terbuka, menampilkan sosok Doxi dengan sepotong roti di tangan kanan yang sedang dia makan. Sedangkan tangan kirinya, menenteng roti yang masih terbalut plastik, utuh. Zealire yakin, pasti itu untuknya.
Doxi duduk di kursi kayu kukuh sebelah kasur berukuran 200x90cm yang diduduki Zealire saat itu. Menumpangkan kaki kanan di atas kaki kiri, dengan mulut penuh mengunyah potongan roti.
"Setidaknya mengetuk pintu dahulu, sebelum masuk. Bagaimana jika aku sedang berganti baju? Atau memang ... kamu pria mesum?" Zealire mendelik, malas.
Sukses menelan suap terakhir roti, dengan wajah datar pria dengan rompi cokelat tua itu membalas, "Aku tidak salah. Kamu tidak mengunci pintunya. Lagipula, ini rumahku. Jadi, bebas."
Mata Zealire terpejam, mengatur napas senormal mungkin. Oke, dia harus membiasakan diri. Ini Bleedpool, maklum jika banyak orang tidak waras di sekelilingnya.
"Roti untukmu. Cacing di perutmu sudah meronta-ronta, jangan dibiarkan." Benda yang mendarat di pahanya membuat netra Zealire sontak terbuka. Doxi melempar sepotong roti itu. Sangat tidak sopan.
"Terima kasih." Zealire membuka bungkusan, dan mulai melahap benda empuk itu. Bagaimanapun juga, perutnya memang sudah keroncongan sejak tadi.
Tatapan Doxi terkunci pada gadis bergaun putih di depannya. Dia belum sempat menanyakan nama juga asalnya. Asing, dia tidak pernah melihat gadis itu berkeliaran di Bleedpool selama ini.
"Siapa namamu, gadis bodoh?" Pertanyaan itu terlontar dari Doxi, setelah Zealire melahap habis suapan terakhir rotinya.
"Haruskah aku memberitahumu, Tuan Doxi?" ucap Zealire, entah kenapa terdengar menantang di indra pendengaran Doxi.
Pria itu memicingkan matanya. "Dari mana kamu tahu namaku? Jangan-jangan, kamu adalah salah satu dari jutaan wanita yang mengantre ingin dijadikan istri olehku, cih."
Sontak mata Zealire membulat. Mendekat pada pria itu, memukul pundaknya pelan. "Hei, semalam orang-orang gila itu memanggilmu dengan nama Doxi. Kedua telinga dan otakku masih berfungsi, jadi, kusimpulkan itu adalah namamu."
Doxi mengangguk-angguk, remeh. Mengapa orang ini sangat menyebalkan? Tidak adakah stok lain orang seperti Shaq di negara ini?
"Jadi, siapa namamu?" Kali ini pria itu terlihat serius.
"Namaku ... Zealire Vurbent."
Doxi menggeser kursi, mendekat ke arah kasur—tempat duduk Zealire—menimbulkan suara decitan kecil. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Apa tujuanmu ke sini? Apa jangan-jangan, kamu komplotan penyusup?"
Untuk kedua kalinya, Zealire memukul pundak pria di sampingnya, kali ini sedikit kencang.
"Enak saja. Gadis cantik, anggun sepertiku kamu kira penyusup? Hah, apakah auraku terlihat antagonis? Kurasa tidak."
Zealire merasakan ada yang berubah pada dirinya. Semenjak di Bleedpool, dia menjadi lebih banyak bicara. Ralat. Semenjak bertemu dengan Shaq. Apakah dia benar-benar sedang jatuh cinta? Jantungnya berdebar-debar setiap mengingat nama itu.
"Lalu, apa tujuanmu datang ke sini?" tanya Doxi, datar.
"Mencari peta."
Dahi Doxi mengernyit, membuat alis tebal itu tampak saling bertautan. "Peta? Peta apa maksudmu?"
Sontak Zealire menutup mulutnya, netranya membulat, terkejut dengan apa yang barusan dia katakan sendiri. Bisa-bisanya dia keceplosan.
"Ah, maksudku ...." Gadis bergaun putih itu masih menimbang-nimbang alasan yang tepat. "Becak. Ya, becak!"
![](https://img.wattpad.com/cover/257662412-288-k503838.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]
Fantasía[SUDAH TAMAT] Zealire Vurbent harus melanjutkan misi mencari peta hanya dalam waktu tiga hari. Bleedpool bukan tempat yang ramah untuk disinggahi. Perampok, bajak laut, penjarah, pembunuh, pengedar, bahkan semua jenis pelaku kejahatan ada di sana. M...