01. Setelah Patah

415 44 214
                                    

1. Setelah Patah.

-Rupanya tidak seperti yang aku duga. Nyatanya aku masih bernyawa setelah patah.

****
Kota Baru, 2021.


Mau tau, mengapa aku memilih mengebyar diriku saat musim semi?

Menjajal diriku dengan kerja part time?

Melakukan segala hal, dan menyibukkan diriku sesibuk mungkin, daripada menapaki tempat-tempat yang menjadi buruan anak-anak seusiaku.

Setelah kutelusuri lebih dalam, ternyata tidak ada sebab.

Namun kepada kalian, aku akan membeberkan jawaban. Tapi berjanjilah, jangan beritahu siapapun soal ini. Anggaplah, ini rahasia di antara kalian dan aku.

Sebenarnya akupun tak tau, sejak kapan musim semi memusuhi diriku. Untukku semua begitu tiba-tiba. Keceriaan itu begitu saja hilang dari parasku. Hingga di hari ini, untuk melihat senyuman tercetak di bibirku, rasanya sangat mustahil.

Ya, mau bagaimana lagi ... Sangat kecil kemungkinan kalian akan mendapatkannya.

Senyuman riang itu lenyap, bukan karena dilahap murung. Buktinya, hari-hariku masih berporos baik. Aku menikmati detik sesuai takarannya. Dan dunia pun, bukan pelakunya.

Selepas aku berduskusi dengan seluruhku, ternyata yang ada hanyalah akibat.

Akibat mengapa itu tercipta, dikarenakan; aku yang terlalu mendewakan dirinya; aku terlalu memuja dirinya; aku begitu 'terlalu dalam segala hal padanya'. Begitulah cinta, dan aku akui, diriku dungu logika terhadap perasaan di kala itu, di saat semesta masih menjadi temanku.

Mengantar pesanan sarapan di ujung fajar, melangkah ke kampus setelah pagi terbit. Di pertengahan siang menuju sore, berdiri menerima pesanan coffee di balik meja kafe, dan membawa macam bunga di titik senja bermunculan.

Lalu di penghujung malam, aku akan sibuk dengan pikiranku. Menatap buku kosong, yang telah usang.

Berulangkali, aku ingin melukis tinta di dalam buku itu. Menjelaskan apa yang aku lalui seharian.

Bagaimana aku memulai, dan mengakhiri hari.

Bagaimana diriku begitu baik, setelah patah.

Bagaimana diriku tidak terganggu, meskipun hatiku belum pulih.

Bagaimana aku berhasil melewati tiap jamku, tanpa dirinya.

Bagaimana aku berjaya membuat tempat ternyamanku, walaupun tidak bersamanya.

Dan berbagai jenis bagaimana, atas kemenanganku hidup dalam kubangan yang terhimpit pelik.

***

Oh, hell!

Aku lupa mengerjakan tugas. Dosenku ini agak rewel soal tugas. Katanya; mau sebagaimana rajinnya kami mengikuti kelas; mau sehormat apa kami padanya; mau sepandai apa ilmu yang kami punya - tetap saja, tugas menjadi yang paling utama. Sebagai tolak ukur nilai kami.

Emang dasarnya, pandanganku ini tak bisa menghindar apapun tentangnya. Lihatlah, buku yang sedari tadi membisu itu menarik diriku menelusuri rupa si Pemberinya dalam ingatan yang masih menyisakan perihal dia dan segala kenangan.

Kuraih buku kosong itu, dengan tangan gemetar kuusap sampulnya yang mulai kusam. Padahal, buku ini belum pernah aku gunakan. Bisa dibilang, benda tersebut masih baru. Hanya saja, pembungkus plastik bening di bagian luarannya sudah aku tandaskan. Sejak pertama kali buku ini berpindah di tanganku. Kira-kira sudah lebih setahun, lelaki yang kuberi gelar Tuan, menghadiahkan buku ini padaku.

Pun di mana si Tuan Dulu, menjadikanku Nyonya Baru yang menyedihkan.

Menjaga buku secantik ini saja aku tak bisa, apalagi berkeinginan memiliki pemilik sebelumnya.

Sungguh, imajinasi yang luar biasa indah.

Kuletakkan buku itu tak jauh dari tempat semula. Beralih menaruh buku isian tugas yang harus kueksekusikan sekarang.

Aku bukan Mahasiswi yang menjadi kebanggaan di jurusan. Bukan juga Primadona kampus.

Aku adalah aku, menjalani hariku sebagai pelajar dengan sangat santai. Mengenal beberapa teman, yang tidak sengaja berinteraksi denganku.

Aku pun kadang mengeluh, ketika terlalu merasa letih dengan segala yang kukerjakan di hari itu. Namun pelampiasanku hanya sekedar menyenderkan diri di kursi, ataukah berbaring telentang menghadap langit-langit kamar, sembari menutup mata dengan salah satu lenganku.

"Selesai," ucapku menata kembali meja belajarku ke bentuk awal. Tak lupa menyimpan buku kosong itu di tengah-tengah meja.

Mataku tanpa sengaja teralihkan pada kalender mini, di dekat sisi tempat tidurku. Hati menggerakkan jari-jari tangan kananku untuk menyentuhnya. Lalu menyapu pelan permukaan benda itu, di mana terpampang jelas angka-angka tanggal, selama 31hari, di bulan ini.

Aku sampai-sampai melupakan tanggal apa hari ini, saking sangat padatnya harianku.

Bumi telah sampai pada akhir bulan Maret, di tahun 2021.

Hampir lebih setahun, dan aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Amarahku di hari di mana dia pergi masih utuh, namun kupilih menenggelamkannya dalam liang netra yang tak lagi sama. Amarah itu yang mengubah pandanganku kabur terhadap orang-orang. Hanya ada kerumitan berinteraksi dengan lingkungan, setelah hatiku patah di hari itu.

Tetapi untuk di dalam radarku, semuanya membaik. Luka terbiasa tersamarkan dengan gema tawa yang palsu. Tetapi tidak bisa kukatakan, bahwa luka itu telah sembuh.

"Lingkar," ucapku diiringi desahan pengharapan yang besar. Selalu seperti ini suasana dalam hatiku, saat abjad nama itu aku tekankan.

Lagi-lagi mata ini berkaca-kaca, setiap bibirku melafalkan namanya. Lingkar begitu kontraks dengan inti di dalamku, bisa aku rasakan ada gaung yang membuat darahku berdesir.

Tarikan perlahan pada bibirku yang belum mengecap apa pun sedari tadi terukir memandang tanggal pada sampul buku pemberian Lingkar.

Sengaja aku melingkari tanggal secara bertahap dari hari demi hari. Barangkali di salah satu tanggal yang aku lingkari, dia akan datang. Setidaknya di hari nanti, aku akan hapal hari itu hingga mati. Hari yang dengan sukacita 'kan kunobatkan sebagai hari bahagiaku, kembali hidup.

****

Tinggalin jejak ya :)

Spam emot ❤ dong di kolom komentar.

Semoga kalian suka ya.

Terimakasih sudah vote!

Nop

#2. Hello, Masa! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang