18. Rasa Yang Meradang.
***
Terkadang, manusia akan menyesal setelah melakukan sesuatu. Sama halnya denganku. Aku benar-benar menyesal.
Ingin kukutuk akalku
Ingin kutenggalamkan diriku.
Ingin kukubur ingatkanku.Saat ini....
Saat ini....Tapi ... Rasanya nikmat, dan aku suka rasa yang aku kenyam tadi. Lebih kudamba dari air putih, yang harus kuteguk sebelum menemui mimpi dan selalu kucari ketika bangun di pagi hari. Rasanya sama-sama tawar. Bila dikecap di awal, tak ada rasa. Akan tetapi jika menyentuh lidah, rasanya akan beda. Dan itu membuat sesuatu dalam diriku mencanduinya.
Namun sialnya. Aku lupa, sesuatu itu bukan jenis bulir cairan, melainkan benda padat tapi kenyal. Oh, shit. Pikiran apa ini?
"Kenapa berhenti? Hmm?" desah suara serak itu di depan wajahku. Gerakan bibirnya yang basah tepat berhadapan dengan bibirku.
Bisa kurasa napasnya menerpa pipiku yang suhunya panas.
Tidak.
Jangan.
Fungsikan otakmu. Kendalikan dirimu.
1
2
3
"Huhhhmm...."
Aku segera menguasai warasku. Walau rasanya aku akan gila. Ataukah aku sudah gila? Dan....
... Oh, Masa! Kau mengacaukannya. Kau membuat rencana menjadi tak karuan.
Kutarik atensiku dari linangan hasrat di dalam netra Sangkar, menemui puluhan kepala yang terdiam tanpa suara.
Hebat! Aku membuat pertunjukan bak artis Bollywood.
Sekali lagi, aku menarik napas pelan. Sangat pelan supaya tidak ada yang menyadarinya.
Sasaranku sekarang adalah Tuan Brian. Pria tua itu, yang membuat kepalaku merancang kejadian beberapa menit yang lalu. Karena ingin Tuan Brian berhenti berkutik, dan terjadilah teater dadakan ini.
Sungguh berani. Sepertinya jati diriku yang dulu dengan jiwaku bersatu. Apakah sisi Antagonis ikut bangkit?
Jika iya, itu sangat bagus. Karena akan membantu mempermudah janjiku terpenuhi. Dan setelahnya aku bisa kembali dan menjalankan hidupku seperti dulu.
"Masa!" Di sana, berdiri Ayah lingkar dengan ekspresi yang menyebabkan sekujur tubuh dingin.
Oh, tidak. Apa yang harus kulakukan.
Aku tidak akan lupa, bahwa yang menjadi waliku, yang mewakilkan posisi orang tua di hidupku adalah dirinya. Sekalipun aku telah memilih hidup terpisah, akan tetapi tetap saja, dalam biodataku dan berkas kemahasiswaanku, dirinya adalah pengganti orang tua.
Dan bisa-bisanya aku melupakan keberadaannya di ruangan ini. Dalam acara ini.
"Kamu apa-apaan Masa, Ayah tidak mengajarkan kamu bertindak seperti itu! Kamu benar-benar——"
Seseorang menimbulkan suara dalam keadaan lengang yang meliputih seluruh yang ada di sini. Hentakan kakinya seolah menjadi nada, untukku mencari pembelaan. Dan terjadi lagi, kosa kata milikku entah tersangkut di mana.
"Tenang, Tuan." Ternyata Bu Raya, dia mengambil tempat di sebelah kananku yang kosong. Kami —Sangkar, aku dan Bu Raya sungguh seperti keluarga di posisi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Hello, Masa!
RomansaWarning 🔞 *** "Tidak perawan?" Suara itu membuatku tergelonjak kaget. Tak butuh dua menit menarik atensiku dari keadaan di bawah pahaku. Lantas membalas tatapan si pemilik suara. "Seorang calon istri yang tidak perawan!" serunya, menajamkan kata...