15. Hatiku (Berhenti) Takluk.
***
Akalku terangkai dalam lamunan. Setelah mengantar Bu Raya dengan pandangan ke atas panggung. Satu pikiran yang memang seharusnya aku pikirkan bahkan saat pertama kali aku berada di sini. Mengapa aku tidak berpikir 'tuk pulang? Kembali ke tempatku hingga aku tak perlu lagi gamang akan hubungan keluarga mereka. Satu setengah tahun yang singkat di mana aku memilih memisah dari Ayah dan Bunda. Dan sebaliknya, satu setengah tahun yang tidak tertebak, di mana aku bertemu dengan mereka dalam keadaan yang tidak lagi sama.
Keadaan yang tidak lagi sama bukan hanya tentang hubungan aku dan Ayah-Bunda Lingkar yang terpatok jarak; seakan-akan sebelumnya tidak kenal. Semuanya kini berporos berbeda; Lingkar membenci keberadaanku, pun munculnya Bu Raya, dan Sangkar dalam hidupku.
Dan yang paling membuatku tak bisa berkata-kata adalah, bagaimana bisa kehadiran Lingkar di ruasku tidak menggetarkan hatiku?
Sungguh, ada kebingungan dalam diriku akan respon tubuhku pada sosok yang begitu digilainya di masa lalu. Aku melihat Lingkar biasa saja, tidak ada desiran hebat seperti saat dulu.
Apa perasaanku itu menghilang? Seiring Lingkar yang tidak pernah datang?
Aku sama sekali tidak merasa merugi, perihal masalah pada hatiku. Hatiku berhenti terhadap Lingkar bukannya itu bagus untuk diriku? Tidak lagi dipermainkan oleh seorang teman yang sesungguhnya sedikitpun tiada rasa kepadaku.
Laki-laki itu hidup dengan baik. Ia lekat bersama Rasa, tak lagi terganggu oleh petaka Masa; aku yang begitu berusaha payah memutuskan hubungan mereka, di kala itu -kami masih bocah labil. Pilihan plin-plan saat remajaku mencuatkan perasaan malu. Mengapa aku begitu keras memisahkan takdir mereka tuk bersama? Andaikan tak ada rasa malu lainnya yang tertambat di dalam diriku, aku tidak akan ragu mengucapkan kata maaf pada Lingkar.
Akan tetapi tidak dengan Rasa.
Aku tidak memiliki kesalahan untuknya. Malahan dia yang mendorong diriku memperlakukan dirinya bak musuh. Sungguh, aku tak punya urusan dengannya.
Namun melihat Lingkar terpesona pada tampak luar dari seorang Rasa yang sempurna membuatku terjebak emosi. Semua itu hanyalah tipu daya yang sengaja dia atur untuk menjadikannya primadona di sekolah. Secepat itu paras cantiknya tersebar di setiap kelas. Dikarenakan dirinya berhasil menaklukkan Lingkaranku, si Preman Sekolah.
Aku tidak terima Lingkar dijadikan batu loncatan untuk Rasa menduduki jabatan 'siswi tercantik seangkatan'. Perempuan itu benar-benar menyebalkan. Apalagi setelah ia mengetahui perasaanku pada Lingkar. Perasaan yang telah kusimpan lama tercium oleh dirinya. Sial, aku tak bisa mengelak.
Berbagai cara aku lakukan agar Lingkar tak jauh dariku, namun semua usahaku tak penting untuk dijabarkannya. Lelaki itu sudah teramat jatuh terlalu dalam dengan kata cinta. Pun Rasa semakin menjadi-jadi, apalagi setelah pengakuan dirinya yang juga memiliki rasa, membuat Lingkar semakin tak waras.
Perjuanganku menyelamatkan Lingkar supaya kiranya tak kecewa percuma. Tanpa sadar, aku membiarkan hatiku untuk mereka lukai. Sakitnya, Lingkar tak lagi datang selepas mereka resmi menjalin hubungan.
***
Sekarang syukurlah. Aku sangat bersukacita tentang keadaan diriku. Euforia Lingkar tak lagi menjadikanku budak tuk terus memuja hatinya, membuat kabut sesak di hatiku lepas.
Sebenarnya bingung, dari mana datangnya perasaan baru ini. Yang mana tak ada lagi getaran ketika aku menatap dirinya.
Pernyataan hatiku berhenti takluk. Ingin kusuarakan dengan lantang. Namun apa ada orang yang mau mendengarnya?
Aku tidak berbohong, aku bahagia. Lebih dari bahagia. Aku merasa tenang. Ketenangan yang selama ini kurindukan.
Setelah puluhan malam dikoyak gelagar lara, kini sesuatu yang baik berpihak padaku.
Seluruhku bersorak.
Seperti Bu Raya, wanita baik yang juga mempunyai berita membahagiakan di hari ini, yang disambut sorakan para undangan.
Bibirku mengukir senyum. Masih tetap memandang Lingkar yang sibuk memperhatikan Bu Raya di atas panggung. Aku tak tau pasti, namun tatapan itu memiliki arti lain. Ada semacam luka yang ingin keluar dari bola matanya.
"Apa muka jelek itu begitu menarik di mata lo?" ucap seseorang tepat di sampingku. Aku yang tadinya memerhatikan Lingkar spontan berbalik ke arahnya.
Dan ya -aku tak lupa seseorang yang menghuni kursi itu.
Sangkar. Dia menyambutku dengan alis sebelah kanan menekuk ke atas.
"Bisakah kau diam, dan jangan mengangguku?" tawarku penuh harap.
"Bodoh," umpatnya yang tentu saja tertuju padaku.
Aku menghela napas, menarik diriku dari Sangkar yang begitu menyebalkan. Dia tidak pernah bertingkah baik padaku, bahkan sekalipun.
Aku tak mau mendatangkan keributan 'tuk Bu Raya. Lebih baik aku membiarkan Sangkar dan fokus memperhatikan Bu Raya.
"Rupanya, anak dan calon menantuku lebih sibuk di sana." Bu Raya tersenyum. Namun dari senyumnya menimbulkan guratan bingung di dahiku. Apalagi mata itu mengarah ke ke meja ini, dan membuatku semakin tak mengerti. Siapa yang Bu Raya maksud?
"Sejak Masa menginjakkan kaki di rumah ini, sikap jahil Sangkar tidak tinggal diam. Dia terus mengerjai Calon Istrinya dengan berbagai macam cara," Bu Raya tergelak. "betul-betul anak jaman sekarang, ada-ada saja tingkah ajaib dia untuk menunjukan betapa sayangnya Sangkar pada calon menantuku yang cantik."
"Dia sangat cantik, seperti...." Dengan kurang ajarnya, Sangkar menekan kuat lenganku berbalik ke arahnya. Mengaitkan airphone bervolume tinggi di kedua telingaku. Sungguh, lelaki ini benar-benar ingin membuat gendang telingaku rusak.
Mungkinkah dendam kusumatnya, atas nama Rasa -membuat Sangkar bercita-cita menjadikanku tuna netra?
"Stop Sangkar! Stop!" geramku mencabut paksa airphone itu, menghempaskannya ke bawah lantai.
***
Tinggalin jejak ya :)
Spam emot ❤ dong di kolom komentar.
Semoga kalian suka ya.
Terimakasih sudah vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Hello, Masa!
RomansaWarning 🔞 *** "Tidak perawan?" Suara itu membuatku tergelonjak kaget. Tak butuh dua menit menarik atensiku dari keadaan di bawah pahaku. Lantas membalas tatapan si pemilik suara. "Seorang calon istri yang tidak perawan!" serunya, menajamkan kata...