02. Waktu Yang Diatur

195 29 174
                                    

02. Waktu Yang Diatur.

****

Tidak seperti biasanya, pagi hari ini dimulai dengan bising kendaraan, yang kuyakin milik tetangga rumahku. Aku menggulingkan diri ke samping kanan dan kiri, sembari menaruh kedua tanganku di telinga. Menutupi suara bising tersebut.

Puncaknya, aku melempar bantalku ke udara, yang berakhir jatuh menimpah kakiku. Untung isinya hanyalah beberapa tumpuan kapuk yang ringan.

Kubangunkan diri dari kasur, menapaki lantai dengan kesal. Berjalan ke arah jendela, menarik paksa gorden polos itu dengan keras.

Kekesalanku bertambah, saat kulihat keadaan di luar sana masih diselimuti gelap. Fajar belum tiba, lalu ada apa dengan tetanggaku itu. Apa yang sedang ia lakukan, sehingga menimbulkan keributan yang sangat mengganggu.

Kubawa diri lebih dekat ke kaca jendela, menariknya dengan sekali hentakan. Kemudian meloloskan diriku ke balkon kamar.

Hawa sejuk menyeruak, langsung menyapu bagian kulitku yang telanjang. Baju yang kupakai hanya menutupi tubuhku sampai pada batas lutut, dengan lengan yang pendek. Rambutku yang urak-urakan sangat khas dari tampilan orang yang baru bangun tidur.

Kugapai besi pembatas balkon, mencari-cari pelaku yang tidak memiliki etika.

Di sana, depan teras rumah yang ada di seberang rumahku.

Ah, sejak kapan aku kedatangan tetangga baru?

Sebegitu sibuknya aku, sampai-sampai tidak tau ada penghuni baru di kompleks ini.

Apakah bunyi motor vespa selalu seperti itu? Ataukah motor orang itu yang bermasalah?

Lihat, dia betul-betul tidak mengerti tata krama. Malam-malam seperti ini, sudah pasti semua penghuni perumahan Cakrawala sedang beristirahat. Lalu apa yang ia kerjakan di sana? Tolonglah, ada banyak jam yang bisa ia pakai 'tuk memperbaiki motornya esok hari.

Baiklah, tidak akan salah jika aku menegurnya. Lagian, dia telah mengganggu tidurku.

Meneriakinya dengan keadaan gaduh, tidak mungkin akan dia dengar 'kan?

Lantas maaf saja, jika batu kecil di tanganku mendarat dengan kencang di tubuhnya.

Sekali percobaan gagal, disusul kedua, ketiga dan keempat kalinya selalu gagal. Dan tersisa satu batu hias warna biru yang aku ambil dari pot di depan sudut balkon.

Doakan aku, supaya batu ini mengenai salah satu anggota tubuhnya.

Demi Tuhan, apabila batu itu terpental di kepalanya, aku akan sangat bahagia.

Diiringi tarikan licik di pinggir bibir, aku mengayunkan tangan lambat. Melihat jarak dirinya dariku dengan mata sebelah yang tertutup, agar fokus.

1, 2, 3 ... Dan dapat! Kena kau. Batinku gembira.

Kiranya lemparan itu berhasil menciptakan nyeri di area kepala lelaki itu. Bisa aku lihat, sebelah tangannya yang tadi berada di setir motornya, kini beralih memegang kepala bagian belakangnya.

Aku tidak akan takut, jika dia menangkap basah diriku. Lagian aku penasaran, dan juga harus mengenal rupa tetanggaku. Bukan untuk mengakrabkan diri dengannya, tetapi untuk berjaga. Agar aku menghindarinya di hari-hari esok.

Aku trauma, berhubungan dengan tetangga yang kemudian menjadi temanku. Dan jika di pertengahan aku kembali jatuh cinta lagi dengan seorang teman? Bisa-bisa, luka yang belum pulih ini kembali diisi luka yang lain.

Sekarang tidak dulu.

Aku lelah jatuh cinta sendiri.

Sedangkan hukum dalam cinta adalah dua hati, lalu siapa yang akan dengan sukarela mempertaruhkan hatinya kepada mahkluk egois seperti aku?

Dia kebingungan mencari, namun tidak ada yang ia temukan. Diapun juga tidak berbalik ke samping sini. Dan yang terpenting dia tidak akan menemukan objekku. Dia di bawah, aku di atas. Sungguh perpaduan yang rumit.

Ah, lebih baik aku melanjutkan tidur. Tidur sampai pagi, dan pagi lagi rasanya akan sangat menyenangkan. Setelah 356hari aku berkutat dengan aktivitas kampus yang sebenarnya tidak seberapa, ditambah kerja sampingan, yang tidak tau harus aku apakan uang dari gajiku itu.

"Lo!" pekik sebuah suara. Ah, suara lelaki itu, tentu saja.

Bertepatan dengan nada suaranya yang mengandung kekesalan, aku menjeda tubuhku untuk berbalik meninggalkannya sendiri. Dan kembali ke posisi awalku, melarikan mataku ke bawah sana.

Mataku terbuka lebar.

Napasku tersekat.

Lalu tubuhku membeku.

"Lingkar?"

"Lingkar...." lirihku lagi tak percaya.

Wajahnya disinari lampu halaman yang memantulkan cahaya ke segala penjuru. Sangat jelas wajah itu milik Tuanku yang pergi, Tuanku yang ingkar kembali, Tuanku yang tidak pernah menepati janji.

Jaket jeans berwarna biru tua, jaket yang menjadi kesukaan Lingkar. Bahkan hanya membayangkan sekilas Lingkar memakai jaket tersebut, membuatku langsung teringat aromanya. Seakan-akan aku mencium wangi itu.

Katakan wahai semesta, katakan ini manipulasimu. Katakan bawah mataku ini salah. Penglihatanku ini hanya ilusi.

Ya, ini hanya ilusi.

Cuma imajinasi semata. Karena aku yang tidak pernah absen memikirkan manusia itu. Jadilah semuanya berubah menjadi dirinya. Dan berakhir menjelma di mana-di mana.

Itu bukan Tuan, bukan. Dengan napas memburu, aku lanjutkan membatin. Mengeratkan jemari pada besi pembatas balkon yang dingin. Ya! Itu bukan Lingkaranku.

Dia bukan Tuan Yang Ingkar.

Bukan.

Bukan dia.

Ini tidak mungkin! Dia terlalu asing dengan janji. Lingkar akan memenuhi janji sesuai kemauannya. Dia akan bertandang pada waktu yang telah ia atur.

Waktu yang telah dia atur?

Oh, hati.

Inikah waktu itu?

Waktu yang telah Lingkar atur?

Untuk datang menemani rindu kita?

"NGAPAIN LO LEMPAR GUE? HAH! TURUN SINI LO!"

Teriakan itu mengembalikanku ke alam sadarku. Aku tidak memperdulikan kekesalannya. Dan menatapnya dengan mulut komat-kamit, untuk memastikannya sekali lagi.

****

Tinggalin jejak ya :)

Spam emot ❤ dong di kolom komentar.

Semoga kalian suka ya.

Terimakasih sudah vote!

#2. Hello, Masa! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang