36. Ugh! Sakit Sekali di Sini!

34 1 0
                                    

36. Ugh! Sakit Sekali di Sini!

****

Biar kuceritakan sedikit suasana empat jam yang lalu. Yap! Saat aku turut ikut sarapan bersama dengan para kolega Bu Raya yang datang-datang jauh untuk acara perayaan Holi kemarin. Di meja makan ada obrolan ringan, tentang pujian mereka terhadap pertunjukkan kami.

Di antara kolega Bu Raya, ada yang berdarah campuran, dan ada yang asli orang India. Mereka sangat tersanjung dan menyanjung Bu Raya, karena menyediakan festival yang mewah.

Namun tetap saja, mereka yang menyukai juga terdapat mereka yang kurang suka. Tak banyak, ada satu dua orang yang melontarkan ucapan yang sebenarnya tidak pantas dalam sebuah jamuan resmi. Entah kenapa, aku yakin mereka adalah sekutu Pak Brian.

Ingatkan?

Oke, lupakan.

Aku menceritakan ini karena aku pun merasa bahagia. Beberapa kolega bisnis Bu Raya ternyata berteman cukup dekat dengan beliau. Tak tanggung-tanggung, suasana di meja makan pagi tadi mendadak heboh, banyak topik yang membuatku tidak canggung-canggung tertawa lepas.

Garis bawahi bagian ini. Bagian yang paling menarik keriuhan dikarenakan salah satu dari mereka menangkap basah Sangkar curi-curi pandang padaku.

Ibu yang menemukan Sangkar menatapku bercelatuk seperti, “Tuan Muda mungkin heran sama seperti saya, soalnya Calon Menantu sangat cantik.”

Tidak tinggal diam Ibu berkacamata yang duduk di sampingnya menyela, “Bu Raya harus nikahkan mereka sekarang. Sebelum pekerjaan memanggil kami untuk keluar negri. Kami tidak mau melewatkan pernikahan dari pasangan yang sangat serasi ini. Cantik dan tampan.”

Dan detik itu juga, aku tidak bisa berpaling dari wajah Sangkar. Dia gelagapan, hingga tak sadar menyendok sambal ke dalam mulutnya.

Kata Wanita yang kira-kira berkepala pertengahan tiga puluh tahun, yang tak lain menjadi saksi Sangkar menatapku, “Astaga, Tuan Muda Salting. Gemes banget.”

Tawa kami semua kembali pecah, saat Sangkar kepedasan. Ya, termaksud aku. Mungkin saking salah tingkah, ia salah menyambar jus, dan mengambil milikku begitu saja. Menandaskan dalam rongga mulutnya yang sudah pasti kepanasan.

Karena tidak tega, aku meminta Olin memberi susu untuk meredakan rasa pedasnya, dan meringankan wajahnya yang memerah.

Dia langsung pergi meninggalkan meja makan dengan piring yang masih penuh.

Benar kata Ibu tadi. Sangkar sangat menggemaskan. Rasanya aku tak percaya, bahwa lelaki itu adalah orang yang sama, yang kudapati mabuk berat dan berakhir mencumbuku kemarin.

Muka sangarnya langsung menghilang rasa takutku.

Baiklah, aku akan membawakannya sarapan —mm, bukan sarapan lagi. Tapi makan siang.

“Boleh minta susu putih? Letakkan di sana di sebelah air putih.”

“Baik Nona.”

****

“Masuk,”

Seperti perintahnya, aku masuk.

Pintunya yang tidak terkunci membuatku menemui Sangkar lebih cepat.

“Kau sudah baik-baik saja?”

“Hmm,”

“Kau yakin?”

"Hmm,”

“Apa itu membuatmu mendadak sariawan?”

“Hmm,”

“Ah, berarti kau tidak bisa makan. Baiklah, aku akan membawa kembali makanan——”

“Apa lo berusaha menggoda gue?” Tentu, sikap kasarnya akan muncul saat hanya ada kami berdua.

“Siapa yang mengg——”

“Sejak kapan orang kepedasan sariawan?”

“Sejak—— buktinya kau tidak bisa berbicara setelah kepedasan.”

“Ck! Sini, gue lapar.”

Aku memerhatikan laki-laki itu dengan dahi mengerut. Kenapa dia sangat aneh?

Terserahlah.

Kakiku maju mendekati tempat tidur. Dia bahkan masih memakai sepatu?  Kepalaku geleng-geleng ringan, saat melihat kaki Sangkar yang terbalut sepatu putih polos yang tidak sengaja terekspos selimut yang ia gunakan.

“Kenapa gak lepas sepatu dulu?”

Dia langsung sigap menyelimuti bagian itu. “Bukan urusan lo!”

Aku mengedikkan bahu, setelah Sangkar menerima nampak itu. “Makan di meja sana, kau bisa mengotori....”

“Gue bilang bukan urusan lo!”

Hening. Ah, bentakannya itu menyakiti hatiku. Rasa saat ini juga aku ingin pulang ke rumahku.

Ugh! Sakit sekali di sini.

“Benar itu urusanmu.” Dia tidak menyahut.

Apa dia sedang marah? Tapi karena apa?

Ah! Itu bukan urusanku.

“Dan ini urusan Bu Ragini denganmu.” Sangkar mendongak. “Ibu-ibu yang memergokimu menatapku.”

Ukkhuu ... Uukkhuuu....”

Mungkin ia terbatuk karena perkataan terakhirku. Tapi aku tidak peduli. Lagipula dia terbatuk bukan urusanku! Bahkan di mati pun bukan urusanku.

“Katanya, maaf untuk itu," lanjutku datar.

Karena tidak ada balasan dari, aku memilih keluar. Sesampai di depan daun pintu yang telah tertutup, aku menghela napas yang bahkan tidak kupahami artinya.

Yang jelasnya, hatiku sakit. Di sini sakit sekali.

Sungguh. Bagaimana bisa sakit sekali?

Aku hanya bermaksud baik, tapi dia....,

Dia memang seperti itu 'kan? Seharusnya aku tidak kaget lagi. Aku sudah hampir dua mingguan lebih di keluarga ini.

... Menyakiti hatiku.

“Nona Masa? Anda baik-baik saja?”

Aku buru-buru menghapus air mataku yang turun tanpa sebab, saat Salwa berhenti tak jauh dari sana. Mungkin gadis belia itu tidak tega melewatiku.

Aku bahkan tak sadar ada orang di sini selain aku.

“Tidak apa-apa. Mataku hanya kelilipan debu.” Senyumku se meyakinkan mungkin. “Kamu mau turun?” Dia mengangguk. “Mau bareng?”

“Iya Nona. Mari,”

Kami berjalan bersama. Langkah tertinggal jauh dari Salwa.

Sesak di dadaku belum menciut. Rasanya ada serpihan ledakan yang menghunus di jantungku. Lubang itu bagai disirami lava. Hingga itu membuatku sulit bernapas.

Hhhmm....

Tujuanku berubah mendadak, saat objek tangga mulai nampak. Aku tak jadi ingin kembali ke kamar. Dan mutuskan putar haluan untuk mengunjungi rooftop Villa ini. Tak peduli itu akan membawaku kembali ke kamar lelaki itu.

Aku mau ke sana, karena kami akan kembali nanti siang. Niatku ketika sampai di kediaman Bu Raya, saat itu juga akan langsung meminta izin untuk pulang. Ke rumahku.

“Salwa, kamu duluan saja. Aku mau mampir ke rooftof dulu.”

****



#2. Hello, Masa! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang