12. Kebenaran Sangkar.
****
Seolah menit berubah lambat, bak adegan selowmotion, dengan sebuah kamera merekam kejadian ini.
Hatiku membisu, dan ragaku dilanda gelisah. Bukan soal pilihan, harus ikut siapa aku? —tidak. Lebih dari itu.
"Lepas tangan lo," hardik Sangkar mengagetkanku. Ah, apa tadi aku melamun? "Lo budek? Gue bilang jangan sentuh calon istri gue."
Lingkar menampilkan smirk, menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ah, tatapan meremehkannya sungguh menyakitiku. Dan entah kenapa, ada sebongkah kegelisahan yang timbul di dalamku.
"Calon istri yang pernah gue jamah, bahkan sebelum lo meniduri—”
Brakk!
Suara bogeman membuatku tergelonjak. Pelakunya lagi-lagi Sangkar.
Saat dia ingin melakukannya lagi, aku pun bergerak maju, meraih lengan Sangkar. "Hentikan." Dia menatapku, seperti meminta jawaban 'kenapa aku melarangnya'. Kemudian menghempas tanganku, lalu berjalan meninggalkanku bersama Lingkar.
Aku berbalik, menatap ibah pada Lingkar. Menunduk, berniat memapahnya masuk ke dalam rumah. Namun belum juga tanganku menggapai, sebuah tangan lebih dulu menarikku.
"Gue calon suami lo!" ujarnya penuh penekanan. Mengeratkan tangannya yang besar, pada pergelangan tanganku yang kecil.
Pikiran tentang menolong Lingkar, enyah. Kondisinya yang luka tak lagi kupedulikan.
Aku hanya fokus memandang Sangkar, yang menyeretku tanpa memperhatikan jalan. Mataku terpaku padanya. Dengan wajah datar, dia membawaku menelusuri sebuah ruangan asing, yang tampak tidak terawat.
Mau dia bawa ke mana aku? Tidak cukup semenit aku bertanya dalam hati. Lalu kembali ke atensiku sebelumnya. Pada rupa yang berjaya membuatku candu.
Kami melewati lorong yang lebih panjang. Jalan kecil ini sempit, mau tidak mau, tubuh kami berdempetan. Ah, semakin ke dalam lorong, semakin Sangkar memperlambat langkahnya, kemudian berhenti.
Ia melepaskan tanganku, meraba saku jasnya dan mengeluarkan sebuah pemantik api. Menyalakan pemantik api sebentar, lantas mengaitkan tangannya di sela-sela jariku. Dan kami kembali melanjutkan langkah.
Tidak terlalu jauh, tapi aku sudah berkeringat begini.
Hingga di ujung lorong, sudah nampak bias cahaya lampu. Lama-lama, kami seolah diraup oleh cahaya putih tersebut. Dan betapa terkejutnya aku, disambut sebuah ruangan.
Ruangan yang tidak terlalu luas, namun tatanan barangnya sangat teratur. Hanya ada sedikit benda di ruangan ini.
Hentakan pintu menggema, mendengar itu aku berbalik ke arah sumber suara. Yang kudapat ialah Sangkar sedang memegang bagian knop pintu. Bersamaan itu, tertangkap bunyi kunci yang mengancing pintu. Dan tak butuh waktu lama, Sangkar berbalik menuju ke tempatku.
Seketika bulu kudukku berdiri. Disertai desiran di dalamku. Mataku enggan lepas darinya, setiap langkahnya aku kenyam.
Dia berhenti di depanku. Menatapku dengan tatapan yang sulit kupahami. Menepiskan jarak, sampai ujung hidungnya menyentuh batang hidungku.
Aku serta merta mundur. Kaget, akan posisi kami yang begitu intim.
"Kenapa?" hembusnya yang terdengar seksual di telingaku. "Melihat lo mundur seperti ini, agaknya lo takut gue sentuh, hm?"
Ah, sial! Aku terjebak, punggungku telah sampai pada permukaan dinding. "Kenapa hm? Lo sangat ahli dalam memancing hasrat 'kan? Tentu lo siap menerima nafsu gue," bisiknya di telingaku.
"Ah!" Aku terperanjat, saat Sangkar menarik tubuhku ke sisinya, mengeratkan dengan satu tanganya, agar tubuhku tidak lepas.
Oh shit!
Tubuh kami begitu berdempetan. Kurasakan dada bidangnya menubrukku agak kencang. Saat aku ingin menjauhkan wajahku, Sangkar gerak cepat menahannya, dan kembali menempelkan hidung kami.
"Lepaskan aku," perintahku, meliuk-liukkan diriku di dalam kungkungan Sangkar. “lepas, lepas...."
"Jangan bergerak, atau gue perkosa lo sekarang juga," geramnya membuatku berhenti saat itu juga. Menatapnya tidak berdaya penuh keringat. Tak lama ia mengelus permukaan kulitku, pelan —bahkan begitu pelan. Matanya di sana, memandang datar tubuhku yang ia sentuh dengan ujung jari.
Kurasakan di setiap sisi lenganku, Sangkar menanggalkan jejak. Hingga tangannya sampai di bahuku. Tepat di lekuk leherku, dia terdiam. Memandang area itu lama.
Getar dalam naluriku menggema. Tenaga terkuras banyak, tak ada lagi perlindungan yang bisa kulakukan. Namun aku tidak bisa pasrah, menyerahkan tubuhku untuk dijamah.
Sudah cukup, aku berlaku bodoh di masa lalu. Membiarkan nafsu menguasai diriku, memperbudakku berlakon layaknya peran si kupu-kupu malam.
Dia mendekat, semakin merapatkan ruang. Kepalanya bergerak ke lekuk leherku. Hembusannya melebur, diserap kulitku yang sepertinya mencandu. Tulang selengkaku berdenyut, bak tak sabar merasai telapak tangan Sangkar di sisinya.
"Calon istri?" Netra kami bertemu, " jangan bermimpi Masa!" serunya, menyeret leherku dalam kedua genggaman tangannya.
Tubuhku terangkat, sejalur Sangkar menguatkan cengkramannya. Ia mencekik leherku begitu kuat. Kurasakan napasku terputus, ruas tenggorokanku terkunci.
"Siapa yang nyuruh lo pergi dari Apartemen gue, hah!" tegasnya kurang lebih satu senti di hadapanku, tepatnya di depan bibirku.
“A—aahh ... Aaa—aahhh....” Suaraku terbata-bata, Sangkar begitu mengeratkan cekikannya di leherku.
Dadaku sesak, seluruh pasokan oksigen dalam paru-paruku terkuras. Aku betul-betul kehabisan tenaga, tak ada kemampuan lagi menepis tangannya yang bertengger kuat di bawah daguku. Bahkan urat-urat tangannya timbul. Saking kencangnya ia menekan tulang tenggerokanku. Tak hanya sampai situ.
Ia melepaskan satu tangannya mencubit pipiku, lalu menindihnya sampai ke tulang pipi."Di mana tatapan benci lo, hah?!" serunya, semakin memperdalam cubitannya. “Tatapan tajam yang lo berikan pada Rasa! Tatapan kesenangan saat lo menyiksa Rasa! Tunjukkan itu Masa!”
B—bagaimana Sangkar tahu? Ungkapku dalam hati. Setelah itu, kurasakan tubuhku jatuh menghantam dadanya. Kesadaranku sepenuhnya hilang bersamaan Sangkar menarik paksa tubuhku.
****
Tinggalin jejak ya :)
Spam emot ❤ dong di kolom komentar.
Semoga kalian suka ya.
Terimakasih sudah vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Hello, Masa!
Lãng mạnWarning 🔞 *** "Tidak perawan?" Suara itu membuatku tergelonjak kaget. Tak butuh dua menit menarik atensiku dari keadaan di bawah pahaku. Lantas membalas tatapan si pemilik suara. "Seorang calon istri yang tidak perawan!" serunya, menajamkan kata...