38. Perlakuan Manis Sangkar.

22 2 0
                                    

38. Perlakuan Manis Sangkar.

****

Entah datang darimana gerakan dalam diriku, yang tiba-tiba memaksakan diri untuk mencuci piring kotor yang berisi sisa-sisa nasi dan lauk yang Sangkar makan tadi.

“Nona, biar saya saja.” Gadis itu cemas, matanya tak henti-hentinya menyapu ruas pintu dapur memastikan Bu Raya tidak mendapati apa yang aku kerjakan saat ini.

Aku tidak bermaksud mengerjainya. Hanya saja, ekspresinya itu sangat kunikmati.

Ah, mendadak aku ingin memiliki Adik.

“Salwa, kamu santai aja. Ini piringnya cuma satu, mangkoknya satu, sendok-garpu satu. Dan gelas satu.” Padahal, cucian piringku hanya seberapa. “Pekerjaan biasa aku lakukan. Jadi kamu tenang saja ya, aku janji tidak akan memecahkan ini,” lanjutku mengangkat piring putih yang terlumur busa.

“Oke?” sambungku sambil masih mencemari piring tersebut dengan busa pada spon pencuci piring di tanganku.

Sebenarnya aku juga rada takut piring ini terpeleset dikarenakan telapak tanganku yang licin.

“Bukan seperti itu Nona Masa, saya takut Bu Raya memarahi saya karena membiarkan Nona melakukan pekerjaan yang menjadi tugas saya.”

Aku menghela napas. Meletakkan piring tersebut di wastafel. Menoleh pada Salwa yang tengah pucat pasih.

“Astaga Tuhan. Salwa kamu kenapa?”

“Sa ... saya ... ta ... ttakut....”

Aku terkekeh kecil. Kemudian disusul tersenyum tipis. Gadis ini sangat polos. “Baiklah. Kamu bisa bantu saya. Kita mengerjakannya berdua.”

Dia mengangguk ringan. Dan langsung mengisi kekosongan di sebelahku.

Aku merasa sangat bersalah padanya, karena sudah sejak tadi Salwa ingin menggantikanku, dan juga membantuku.

“Merasa lebih baik?”

Salwa kembali menggoyangkan kepalanya. “Iya, Nona. Sangat lebih baik.” Menampilkan wajah tersenyum ceria. Berbanding terbalik dengan beberapa saat yang lalu.

Ekspresi Salwa yang cepat berubah itu membuatku tertawa kencang. Sampai-sampai ada bulir cairan di sudut mataku.

Perasaanku hangat melihat tingkah Salwa. Tawaku yang jarang menggema dengan nada merdunya, berhasil gadis itu bangkitkan.

Sungguh. Saat aku pergi, aku akan merindukan gadis ini.

****

“Apa yang lo lakukan di sini?”

Suara orang itu menarik atensiku, dan spontan membuatku tergelonjak kaget.

Namun sebisa mungkin, aku memasang sambutan yang tidak memunculkan binar kekagetan pada wajahku.

Hanya tertinggal satu buah piring kotor lagi. Yaitu mangkok kaca yang kini spon di  tanganku selumuti busa.

“Ini,” jawabku membalikkan diriku untuk memperlihatkan mangkok bekas sup yang lelaki itu makan tadi. “cuci piring kamu.”

Ramah. Itu sangat terdengar ramah, dengan komplikasi renyah kekehan di akhir kalimatku.

Sangkar tidak membalas. Aku kembali melanjutkan kegiatanku.

Dan setelah membilasnya, aku bergerak menyerahkan piring mangkok berbahan kaca itu pada Salwa untuk ia susun bersama temannya yang lain. Maksudnya piring yang lainnya.

“Udah?”

Hampir saja jantungku melayang.

Sangkar, lelaki itu masih ada di sini, berdiri di depan lemari dengan posisi menyandar dan melipatkan dada.

#2. Hello, Masa! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang