06. Pangkalan Astral

42 13 17
                                    

06. Pangkalan Astral.

****

Siapa sangka, aku di tempat lelaki itu, bukan hanya sehari. Sudah ada tiga hari aku berada di sini. Yah, agaknya tidak sopan aku memanggilnya dengan sebutan 'lelaki itu'.

Jadi baiklah.

Pun aku telah menerima kenyataan. Mengakui fakta, yang mana lelaki itu memang bukan Lingkar.

Namanya, Sangkar.

Lengkapnya, Sangkar Kasmaran Buana. Nama yang aneh 'kan?

Saat mendengarnya pun aku heran. Ah, tidak. Aku tidak mendengarnya, apalagi mendengarkan itu langsung dari si Pemilik Nama.

Aku membacanya lancang. Kartu mahasiswanya dan kartu-kartu lainnya berserahkan di atas tempat tidur. Salah dia sendiri 'kan?

Sudah ada seminggu aku di rumah ini —ah, ralat— apartemen ini. Sangkar membawaku ke sini. Bukan ke bangunan di samping rumahku.

Selama aku berada di sini, Sangkar jarang pulang. Entah tidur di mana dia, aku tidak ingin memusingkan itu. Namun, di dalam hatiku merasakan sebuah kecemasan. Dan semua itu karenanya.

Selama di sini, aktivitasku memasak. Hal yang terhitung jarang kulakukan. Tapi tenang saja, aku pandai memasak. Bunda Lingkar menurunkan bakat meracik makanan saat aku berusia 14tahun.

Sudah berjenis-jenis bahan makanan di kulkas yang menganggur, tanganku sulap menjadi sajian yang enak.

Bukan satu atau dua macam saja. Ada banyak macam yang aku masak. Kiranya Sangkar akan pulang dan menghabiskannya. Herannya, membayangkan itu aku tersenyum bahagia.

Dia baru pertama kali memakan masakanku. Perkiraanku, mungkin dia pulang di gelap malam. Karena aku menunggunya hingga jarum jam di angka sebelas. Akan tetapi Sangkar tidak datang-datang. Tubuhku sudah sangat lelah, dan mataku pun berat. Jadilah, aku berakhir tertidur di ruang tamu.

Entah kenapa, aku sukarela menunggunya di malam itu. Meskipun berakhir tidur di sofa.

Hidupku bukanlah drama Korea, mengharapkan Sangkar memindahkanku hanya akan menyakiti ekspektasi.

Dan benar, Sangkar tidak memusingkan aku. Tidur di tengah ruangan yang memiliki jendela dengan lubang ventilasi yang cukup besar. Membawa angin leluasa masuk, dan meruap tubuhku yang hanya di balut  kaos polos berukuran besar sebatas paha. 

Paginya, aku tetap terbangun dari atas sofa. Tapi dengan selimut yang menutupi tubuhku.

Dia nampak galak, tapi berhasil menyentuh hatiku. Dia terlihat cuek, tapi sukses membuatku patuh. Dia begitu mendominasi segala gerakku sejak aku berada di apartemen ini.

Dan mulai saat itu, ada bagian diriku yang inginkan kehadiran Sangkar di sini.

Semoga saja, sore ini dia akan pulang.

Sungguh, aku bosan di tempat ini sendiri. Aku lebih baik berada dalam ruangan kelamku yang penuh duri. Se-masih hatiku belum direyam perlakuan manis.

Biarpun lakunya begitu minim, namun hatiku ini mudah renyah, mudah jatuh. Apalagi di dalamku telah lama tidak merasakan indahnya gelora.

Swara pernah mengatakan, bahwasanya aku, “Bukanlah budak cinta. Tapi sebaliknya, butuh cinta.”  — melihat cintaku yang begitu besar berakhir cinta sepihak, yang hanya kurasakan sendiri.

Ya, sebutlah cinta bertepuk sebelah tangan.

“Haha....” Aku tertawa lemah. Mengangguk pelan, membenarkan perkataan Swara yang sudah terlalu sering terlintas dalam lamunanku.

Kurapatkan punggungku di sandaran kursi goyang yang terbuat dari rotan, yang sekilas mirip sangkar.

Di depan sana, agaknya sore segera bergeser. Suhu udara pun mulai lebih dingin. Tandanya, waktu manusia tanpa bayangan sedikit lagi terbit.

Di detik-detik senja akan muncul, kurasakan tubuhku terpaku di ruas balkon yang hanya diisi satu benda. Tak ada benda apa-apa lagi di sini, selain dudukan sangkar yang kutempati menumpukan diri.

Waktu begitu cepat berlalu. Mataku belum sempat berpindah dari hamparan langit biru yang berawan. Kini langit itu dijajal warna kemerahan pelan-pelan. Hingga di ufuk barat sana, batasan bumi telah menjadi jingga.

Ah. Batasan? Batasan mana yang akalku pikir? Nampaknya logika ini macet. Dia tersudutkan oleh genderang hatiku yang berpacu. Bukan lagi pada tempo detak yang sering jiwaku kunyah.  Lebih dari itu.

Hanya hatiku yang paham. Bahwa bumi ini, adalah bentuk lain dari lingkar. Seperti Lingkarku yang ingkar, bumiku pun terkadang ingkar. Maka bumi, tariklah Lingkar ke rotasiku. Karena Masa ini, kini sangat malang.

Lihat? Masa ini hampir roboh. Melihat Wajah Lingkar di Tuan yang lain. Memaksa Tuan itu, menjadi Tuan hati yang telah lama hilang.

Wahai zaman, kasihilah Masa ini. Sedikit sebelum raga ini engkau raup ke dalam baka yang kekal.

Permadani jutaan bintang terbentang di ruas angkasa. Rupanya di tempat ini ada surga yang tersembunyi. Sebuah pangkalan astral, yang seharusnya aku ketahui sejak awal.

Sangkar curang, dia mengurung bintang-bintang itu untuknya sendiri. Menikmati keindahan tanpa memberitahukan padaku titik Nirwana di tengah-tengah gulita yang kian pekat.

Aku butuh ponselku, tuk mengabaikan momen ini. Kiranya dalam gambar, bintang itu akan kusimpan baik-baik, dan mendatanginya saat aku merindukan tempat ini, dan pemiliknya.

Tapi karena benda itu tidak bersamaku, jalan alternatif lainnya untuk mengenang bintang-bintang itu dengan cara menguburkannya dalam diafragma bola mataku.

Pilihan satu-satunya agar objek di hadapanku ini menyatu denganku, adalah dengan berada di balkon hingga bintang itu terganti fajar.

***

Tinggalin jejak ya :)

Spam emot ❤ dong di kolom komentar.

Semoga kalian suka ya.

Terimakasih sudah vote!

#2. Hello, Masa! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang