39. Dejavu Berontak!
***
Hingga saat kami tiba di atas gundukan yang menyerupai gunung dengan rumput-rumput hijau, aku dan Sangkar terdiam.
Aku dengan seribu tanya yang mengundang banyak tanda.
Dan untuk Sangkar sendiri, aku tidak begitu tau jelas apa yang lelaki itu pikirkan. Namun jika kutebak, dalam kepalanya tersebut ——mungkin masih dihuni dengan bekas gores cutter di area nadiku.
Bukan tanpa alasan aku menyimpulkan ke arah sana. Lirikan mata Sangkar yang sesekali kudapatkan menatap ke pergelangan tanganku. Alasan aku berpikir demikian.
Seperti perintahnya, aku berjalan bersisian dengannya. Karena posisi kami yang sejajar, membuat lengan kami terkadang bertemu, dan tangan kami terkadang pula saling membentur.
Kami melalui jalanan yang persis tangga. Hanya saja berbahan alami; dari tanah tanpa campur semen dan sejenisnya. Kupikir warga sekitar sini sengaja membentuk tanah yang sedikit menanjak itu menyerupai tanah. Karena lebih mempermudah dan lebih aman.
Saat kami melewati tangga tersebut, Sangkar menuntunku dengan hati-hati sebab tanahnya licin diakibatkan cuaca yang sedikit buruk.
“Lo selalu suka tempat seperti ini 'kan?” Aku menyetujui itu. Tapi memilih tidak mengiyakan perkataan Sangkar. “Terus kenapa reaksi lo datar?”
Apa dia tidak lihat? Kalau aku sedang menghirup aroma menyejukkan sisa-sisa embun. Memanjakan mataku yang sudah lama absen memandangi hamparan pengunungan. Melumuri jiwaku dengan ketenangan yang sulit kudapatkan.
“Tidakkah kamu ingin menikmati sensasi warna-warna hijau yang berbaur dengan suhu yang teratur ini?” balasku tanpa menatap Sangkar.
“Gue bisa menikmatinya melalui wajah lo.”
Alisku terangkat. Disusul mataku terpejam. Mencerna apa yang Sangkar katakan. Lalu membukanya lagi.
Tidak asing.
Lagi. Aku merasakan sesuatu yang membuatku merasa tidak asing pada dirinya.
Tunggu. Bukannya tadi dia mengatakan padaku “Lo selalu suka tempat seperti ini 'kan?”
Tapi darimana Sangkar tahu soal aku yang suka dengan tempat seperti ini?
Dia seperti seseorang yang begitu mengenalku. Haha.
Ah, benar! Dia mencaritahu. Sudah pasti. Rasa adalah orang di balik kegabutan Sangkar terhadap kehidupanku tentunya. Hanya itu yang menjadi bukti kuat persoalan Sangkar mencari seluk-beluk seseorang yang menindas orang yang ia sayang. Dan orang itu adalah aku.
“Bukan cuma wajah yang mirip. Pikiran kalian terkadang mirip juga.” Gadis yang mereka lindungi juga orang yang sama bukan?
“Maksud lo?”
“Aku ingat kalimat itu. Lingkar sering mengatakannya dulu.”
Aku tersenyum, menggantikan permadani gunung dengan wajah Sangkar.
Ada apa dengan wajahnya itu?
Ekspresinya berubah. Matanya memerah. Mungkin kah karena debu? Atau karena sisi bunglonnya mencuat?
“Matamu perih?” Dugaan pertama. Karena debu. Terkaanku itu membuatku mendekat ke arah Sangkar.
“Menunduk sedikit,” perintah sambil menarik turun pundak kanannya.
Menahan kantung bawah matanya dan kelopak atas matanya agar tidak tertutup. Menggunakan ibu jari dan jari telunjukku. Meniupnya pelan. Lalu berpindah ke mata sebelah kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Hello, Masa!
Roman d'amourWarning 🔞 *** "Tidak perawan?" Suara itu membuatku tergelonjak kaget. Tak butuh dua menit menarik atensiku dari keadaan di bawah pahaku. Lantas membalas tatapan si pemilik suara. "Seorang calon istri yang tidak perawan!" serunya, menajamkan kata...