Melangut

7 2 0
                                    

Aku sering duduk diteras kamarku, saat malam hari. Aku suka memandangi bintang-bintang. Langit selalu terlihat indah saat bintang-bintang itu hadir dan memancarkan kilau cahaya warna-warninya.

Terkadang ada suara tokek yang menemaniku, dan aku suka mendengarkan suaranya. Suaranya bagai memecah kesunyian malam. Menurutku bagaikan alat musik ritmis yang berbunyi teratur.

Kalau lagi malas belajar, aku sering melakukan kegiatan yang iseng banget, menghitung suara tokek.

"Bisa", aku mulai menghitung.

"Nggak"

"Bisa"

"Nggak"

"Bisa"

Kalau berhenti dikata "Bisa" rasanya seneng banget, berarti besok aku bisa mengerjakan ujianku.

"Gimana mau bisa kalau nggak belajar, Nes!".

Kadang-kadang kalau Dea belum tidur, dia akan berteriak dari kamarnya. Dan Muli, teman sekos yang letak kamarnya disebelah kamar Dea, akan tertawa.

"Udah Nes, tidur tidur! Capek banget ngitungin tokek!"

"Ih, reseh yang penting yakin!"

"Udah tidur sana, nggak niat belajar!. Taruh tuh buku dibawah bantal, mungkin aja bisa masuk tulisan-tulisan itu ke alam bawah sadarmu!". Biasanya aku akan tertawa ngakak mendengar Dea ngomel-ngomel.

Aku akui dia lebih rajin belajar daripada aku. IPK nya lebih bagus dan bisa dapat beasiswa.
Bukan berarti nilaiku nggak bagus, nilaiku lumayanlah dan dapat beasiswa juga tapi nilai beasiswanya nggak sebesar Dea.

Kalau si tokek berhenti pada kata "Nggak", Dea langsung tertawa ngakak dari kamarnya, dan aku manyun.

Tapi malam ini aku cuma memandang bintang sambil mulai mengetik skripsiku. Aku bertekad malam ini harus selesai karena besok sudah janjian dengan dosen pembimbing. Tokek yang biasa menemaniku juga nggak bersuara. Ntah pergi kemana dia.
Mungkin dia tahu aku tidak membutuhkannya malam ini. Yang ada hanya sunyi. Justru disaat sunyi begini biasanya aku bisa cepat menulis kata demi kata.
Mungkin suasana seperti ini juga yang menyertai seorang penulis dalam menuliskan karyanya.

Kudengar pintu kamar Muli berbunyi, "Kok belum tidur Li?"

"Kamu sendiri, kenapa belum tidur?"

"Ini lagi mengerjakan skripsi, selesaikan bab 1 besok mau ketemu dosen pembimbing"

"Oh, enak dong udah mulai bimbingan skripsi. Kalau aku masih jauh"

"Duduk sini Li, udah lama nggak ngobrol sama kamu. Sibuk terus sih"

"Aku nggak bisa tidur, trus lihat kamu sekilas dari jendela kamarku,  lagi ngetik trus aku keluar. Sejak pulang dari KKN kita nggak pernah ngobrol ya Nes"

"Iya, apa kabarmu?"

"Baik, sehat dong"

Muli ini teman satu kos dan satu angkatan dengan kami cuma beda fakultas makanya kami jarang ketemu. Paling berpapasan di kampus atau dikos.

Dulu kami sering nongkrong bareng, bahkan aku juga sering keluar muter-muterin kota sama temen-temennya Muli. Dia punya teman-teman yang seru dan menyenangkan.

Setelah KKN kami malah belum bertegur sapa, kangen juga ngobrol sama si cablak ini.

Muli, anaknya ceplas-ceplos, kalau ngomong ya sesukanya dia aja. Nggak boleh sakit hati dan nggak akan sakit hati juga sih. Soalnya menurutku dia lucu banget. Dia selalu membuat kehebohan dengan suara dan leluconnya. Jenis teman yang akan kamu cari saat kamu berkumpul untuk berpesta atau sekedar nongkrong.

Muli dan Dea, dua orang yang sangat berbeda sifatnya. Dea lebih serius dan leluconnya sering garing tapi dia jenis teman yang akan kamu cari saat kamu ingin cerita semua masalahmu. Tapi Muli nggak pernah mau curhat sama Dea, dia selalu mencari aku. Katanya "Si Dea itu terlalu serius, aku nggak cocok Nes"

Jadi di kos yang berisi tiga orang, diluar ibu kos, kami adalah penghuni yang solid dan sangat akur. Kami nggak pernah berantem walaupun kami punya sifat yang berbeda-beda.

"Apa kabarnya Bayu?".

Si Bayu ini pacarnya Muli yang juga dekat dengan kami dan kadang kami juga nongkrong bareng. Bayu, itu berkulit agak gelap lengkap dengan rambut panjang sebahu, yang malah membuat tampilannya ganteng menurutku. Dia tipikal cowok bandel tapi bukan bandel yang mengarah kriminal gitu ya, menurutku dia pria yang sangat menyenangkan dan kata Muli dia sangat gentle.

Dia tipe pria yang akan membukakan pintu mobil untukmu, berjalan sambil menggenggam tanganmu atau memeluk bahumu. Pria yang akan memberikanmu bunga disaat hari bahagiamu, yah yang seperti itulah. Muli sangat mencintai Bayu.

"Aku rasa Bayu baik-baik saja, Nes"

"Lho, kok aku rasa?", aku merasa ada yang aneh dengan pernyataannya.

"Kami udah nggak bersama lagi Nes sejak sebelum KKN. Kami putus"

Teman macam apa aku ini sampai nggak tau kalau ada teman yang berduka. Aku hanya diam. Ada jeda yang panjang diantara kami.

Ada kesedihan dalam nada suaranya, mungkin berat bagi Muli berpisah dengan Bayu.

"Kamu kan tahu status Bayu yang duda anak satu, selama ini aku nggak pernah cerita sama mamaku. Aku belum siap Nes"

"Suatu waktu, mama seperti memancingku untuk bercerita tentang orang yang sedang dekat denganku. Akhirnya aku cerita tentang Bayu. Menurutku, sudah waktunya aku cerita sebelum akhirnya mama tau dari orang lain"

"Saat itu juga mama bilang nggak setuju dengan pilihanku. Aku terbiasa melakukan apapun seperti yang mama mau, akhirnya mengalah. Mungkin memang Bayu tidak ditakdirkan untukku"

"Berat bagiku berpisah dengan Bayu, aku tahu dia juga begitu. Dia laki-laki yang tidak pernah kulihat menangis selama aku dekat dengannya. Sesulit apapun itu, aku terbiasa melihat dia tegar dan selalu tersenyum, dan kemarin aku melihatnya menangis"

"Aku juga sulit berpisah dengan Genta anaknya. Kami sudah terlalu dekat, aku sudah seperti pengganti mamanya yang telah tiada. Itu hal terberat yang Bayu rasakan".

"Keputusanku sudah bulat Nes, seberat apapun aku yakin kami bisa melaluinya. Bayu akan bertemu dengan orang lain yang bisa menggantikanku, begitu juga aku"

Kugenggam tangannya, menguatkan dirinya.

"Aku udah nggak apa-apa kok, Nes. Setelah hampir dua bulan aku mulai terbiasa tanpa Bayu"

"Kenapa kalian nggak berjuang untuk cinta kalian?"

"Bagaimana caranya? Mamaku dikota lain, Bayu disini bagaimana mereka bisa bertemu dan mama bisa mengenal Bayu?"

"Nggak mudah Nes, aku sudah sangat mengenal mamaku. Aku yakin sampai kapanpun mama tidak akan pernah setuju"

Kudengar Muli menarik nafas panjang, kemudian dia memandangku.

"Aku lebih baik mengalah Nes, biarkan aku yang menangis bukan mamaku. Mama pasti menginginkan yang terbaik untukku Nesta"

"Ya sudah, aku tidur dulu. Aku sudah mengganggu kamu ya?"

"Nggak apa-apa kok. Kalau suatu saat kamu pengen cerita, kamu bisa cerita ke aku. Seperti biasanya"

"Iya, makasih ya Nes udah mau mendengarkan aku. Semoga semua urusan skripsimu bisa lancar ya. Aku baru mau mulai jadi mungkin kita nggak bisa wisuda bareng seperti cita-cita kita dulu"

"Yang penting kamu tetap semangat ya Li!"

Dia tersenyum lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Aku melangut dalam sendiriku. "Jalan kita nggak mudah Mahesa".

Anesta dan Mahesa ( Sudah dicetak )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang