Aku adalah perempuan tua yang lemah. Perempuan tua pastilah lemah, tapi akulah yang paling lemah di antara para perempuan tua di sekelilingku. Paling tidak itu menurutku. Usiaku, menurut catatan buku besar panti jompo, kalau tak salah sudah delapan puluh satu tahun. Tapi aku tak pernah memperdulikan berapa usiaku. Pada usiaku yang sudah sedemikian banyak membuat organ-organku tak berfungsi normal. Aku sudah terlalu sulit mengingat masa laluku. Masa laluku hanya sebentuk lintasan-lintasan menyakitkan. Rasanya tak banyak keindahan hidup yang bisa kunikmati. Kenikmatan hidup yang sempat kusesap hanya seperti mimpi semalam saja, selebihnya adalah kehampaan, kehinaan dan kelemahan. Karena kelemahankulah, hingga hari ini aku terpuruk di panti jompo untuk menunggu sisa usiaku yang mungkin tak lama lagi.
Pengasuhku pernah mengatakan tak mampu lagi merawatku karena terlalu seringnya aku mengompol yang tak pernah kusadari, atau menceracau sendiri sehingga kebanyakan orang menganggapku sinting. Bahkan aku juga sering marah-marah tanpa sebab. Kalau aku sudah marah, semua manusia yang ada di depanku kuanggap biadab. Setiap wajah yang ada di depanku seakan mengejekku, menghinaku bahkan melecehkanku, sehingga kubalas mereka dengan perlakuan yang sama: mengejeknya, menghinanya dan melecehkannya. Kalau sudah begitu tak seorang pun mendekatiku, aku dimasukkan ke dalam kamar dan dikunci dari luar. Akhirnya yang jadi sasaran adalah benda-benda yang ada di kamar, kuobrak-abrik, kutendang, dan yang pasti kuhancurkan. Apapun itu. Akibatnya sekarang sudah tak ada sebuah benda pun di kamarku kecuali ranjang dan kasur yang sudah lengket karena sudah kuhancurkan semua. Yang terakhir kali kuhancurkan adalah cermin di dinding kamar yang biasa kupakai berkaca. Sejak saat itu aku tak pernah lihat wajahku lagi. Wajahku pun seakan sudah menjadi musuhku.
Semua kemarahan dan ceracau itu sering keluar dengan sendirinya dan tak bisa kukendalikan. Otak bawah sadarku yang melakukannya. Otak bawah sadarku seperti mendorong urat-urat alat ucapku dengan umpatan-umpatan atau ceracau yang tak jelas arahnya. Kalau semua itu sudah termuntahkan dari alat ucapku, sesaat aku menjadi lebih lega. Kemudian darahku yang tadinya berpusat di otak, luruh kembali dan aku merasa normal kembali. Kira-kira penyakit apa itu namanya? Menurut para pengasuhku, aku kena depresi berat. Kepahitan hidup berkepanjangan, itulah kukira penyebabnya. Hingga kemudian aku dikirim ke panti jompo yang sebenarnya sialan ini. Meskipun aku sering mengumpatnya sebagai panti jompo sialan, aku masih mensyukurinya. Panti jompo itu memang sudah menjadi hakku akibat penderitaan yang kualami. Panti jompo yang konon bernilai 100 juta rupiah untuk menanggung hidupku yang menurut perhitungan normal tak panjang lagi. Kecuali kalau Tuhan menghendaki usiaku hingga seribu tahun.
Satu-satunya manusia yang kukenal dan tak pernah kuumpat yakni lelaki malaikat. Lelaki malaikat, begitulah aku sering menyebutnya. Lelaki yang membawaku pada kebahagiaan hidup sejati kendati usianya hanya seumur jagung. Udara malam telah merenggut paru-parunya hingga menjemputnya pada kematian. Udara yang selalu dihirupnya ketika malam-malam harus mengayuh becak agar hidup terus berjalan. Dia mati dengan tersenyum di atas becaknya. Senyum kematiannya itu pula yang menyemangatiku untuk hidup. Senyum yang tulus, senyum yang damai, dan senyum optimis. Karena kami tak punya keturunan, akhirnya kupasrahkan hidupku pada panti jompo yang memang sudah menjadi hakku. Mengapa bisa begitu? Inilah yang menjadi bagian dari kisahku yang akan kuceritakan. Tetapi sebelum aku ceritakan semua, izinkan aku menyanjung lelaki malaikat itu, suamiku atau kekasihku dunia akhirat. Aku selalu membayangkan, lelaki malaikatku sedang merentangkan tangannya untukku di surga.
Kalau bukan karena lelaki itu barangkali nyawaku tak kupertahankan sampai hari ini. Lelaki yang membuatku ikhlas menunggu detik-detik kematianku secara alami. 'Kematian yang disengaja adalah sia-sia,' begitu kata lelaki malaikat yang membuatku mempertahankan hidup meski tak semangat menikmati hidup. Atau memang Tuhan sengaja mengirim lelaki terlalu baik itu untukku sebagai wujud kasihNya. Lelaki yang hadir seperti malaikat, yang tiba-tiba menolongku saat aku merasa tak pernah punya masa depan lagi. Lelaki itu memang jauh dari pengertian tampan, tapi hatinya lebih tampan dari ribuan manusia tampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Короткий рассказ...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...