Kuhirup udara segar, sesaat setelah turun dari mobil. Kesegaran udara itu sedikit meluruhkan kegundahan yang beberapa waktu lalu bergelayutan di benakku. Matahari sudah tinggi, tapi masih tampak sisa-sisa kabut di salah satu sisi bukit. "Tolong turunkan barang-barangku di bagasi," perintahku pada sopir pribadiku. "Sudah berapa lama kira-kira aku tidak menginjakkan kaki di bumi damai ini, Man?" tanyaku selanjutnya pada Parman, sopirku. Dia sedang sibuk menurunkan beberapa tas besar dari bagasi.
"Ini diturunkan semuanya, Bu?" tanya Parman yang justru menumbuhkan kejengkelan di dadaku.
"Kalau itu saya bawa ke mari, lalu tidak diturunkan semuanya, untuk apa? Memangnya di buang ke jurang? Kamu ini ditanya, malah balik tanya. Tidak nyambung lagi!" reaksiku yang sebenarnya tidak perlu.
"Maaf, Bu. Karena tidak biasanya Ibu membawa barang sebanyak ini. Ini kan seperti akan pindahan saja. Memangnya Ibu akan tinggal berapa lama di rumah ini?" tanya Parman sambil menatap tas-tas besar itu.
"Man, coba perhatikan Ibu. Dan dengarkan kata-kata Ibu." Mendengar kata-kataku, Parman membalikkan tubuhnya, dan menunduk di hadapanku. Sedikit-sedikit dia mencuri pandang padaku dengan malu-malu. "Ayo, perhatikan aku!" kataku meyakinkan. Barulah dia menatapku, dan kulihat bola matanya yang membersit kebingungan. Wajah yang menurutku sangat lugu. Wajah yang tak terbersit intrik dan keinginan macam-macam. Memang agak ada cacat di wajah itu, gigi atasnya yang sedikit menjorok ke depan. Tetapi semua itu dapat ditutupinya dengan cara dia menyisir rambut dan cara berpakaian. Sederhana tapi rapi. "Sudah berapa lama kamu menjadi sopir saya?" tanyaku selanjutnya.
"Maaf Bu, kalau saya telah berbuat salah," jawabnya dengan bibir bergetar. Aku berpikir, apa yang membuatnya tiba-tiba ketakutan.
"Saya tanya, Man. Kamu jawab. Siapa yang menyalahkan Kamu? Saya ulang ya pertanyaanku. Sudah berapa lama kamu menjadi sopir saya?"
"Eee...kurang lebih lima belas tahun, Bu."
"Ingin berapa lama lagi Kamu ingin menjadi sopir saya pribadi?"
"Ya, tidak tahu Bu. Terserah Bapak. Jadi... jadi sopir kan jasa baik Bapak?" katanya, kembali menundukkan wajahnya. Tangannya pun dilipat di depan perutnya.
"Kesetianmu untuk Bapak atau untuk saya?" tanyaku mulai gemas.
"Ya...pada Ba...eee...dua-duanya."
"Jawab dengan tegas. Pada Bapak atau pada dua-duanya?"
"Pada dua-duanya, Bu."
"Saya harap itu jawaban yang tulus. Kalau begitu, mulai hari ini, dan sampai batas yang tidak ditentukan, kamu tinggal di rumah ini bersamaku. Dan saya izinkan pula anak istrimu untuk tinggal di sini. Tentang sekolah anakmu, segera Kamu urus untuk pindah ke sini. Segala urusan biaya sekolah anakmu, menjadi tanggunganku," kataku dengan tekanan dan tak ada keraguan.
Parman pun seketika jengah, menatapku bingung. Lalu katanya, "Tapi, bagaimana dengan Bapak?"
"Kenapa Kamu harus berpikir, Bapak? Bapak kan sudah punya sopir pribadi sendiri. Persoalan gaji? Akan saya bayar persis seperti apa yang diberikan Bapak padamu. Sudahlah, tinggalkan saja rumah kontrakanmu. Anggap saja rumah ini juga menjadi milikmu. Rumah ini masih cukup besar untuk tinggal berenam." Aku tahu Parman kaget campur bingung dengan keputusanku yang tidak diduga-duganya. "Baiklah, saya beri kesempatan kamu berpikir, tapi tidak lebih dari satu hari."
"Tapi, Bu. Apa Bapak tidak marah."
"Kalau Bapak marah, saya yang bertanggung jawab. Sudah bawa barang-barang ini ke dalam. Panggil ke mari Minah. Mana Minah? Kita sudah berdiri lama di sini, dia tidak nongol-nongol?" kataku ketus. Parman pun segera mengangkat tas-tas itu ke teras rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Cerita Pendek...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...