"Aku malam ini bermimpi, Kawan? Apakah menurutmu ini pertanda?" tanyaku pada Kawan sepermainanku sejak kecil. Saat itu kami sedang berada di sawah untuk bernostalgia di atas kerbau-kerbaunya. Langit cerah, hanya ada beberapa gambar anak-anak yang dibentuk oleh awan. Matahari sudah condong, masih separuh perjalanan menuju horizon barat. Beberapa ekor burung terkesiap dan berhambur ketika kerbau kami datang mendekat. Akankah aku kembali ke desa yang damai tapi tidak dinamis ini? Meski sesekali aku memang merindukannya, namun tak ada hasrat untuk menetapinya.
"Pertanda baik barangkali," katanya.
"Mungkin, ya. Tapi mungkin juga tidak."
"Ceritakanlah mimpimu."
"Aku melamar istri Sulaiman, si Ratu Balqis."
"Woww...itu pasti mimpi yang menarik. Baru kali ini kudengar orang memimpikannya. Pasti itu pertanda baik. Lanjutkan ceritamu. Aku benar-benar ingin mendengarnya."
"Ya, dia memang perempuan menarik, meski dia berkulit hitam dengan rambut berombak."
"Kau katakan Ratu Balqis berkulit hitam?"
"Ya. Adakah orang Ethiopia bekulit putih?"
"Dia dari Ethiopia?"
"Ya, dia dari sana. Ethiopia di masa kejayaannya dengan nama Saba'. Pantaslah Sulaiman menyuntingnya, karena dia sang Ratu besar di wilayah Afrika. Sayangnya, bangsa bani Israil menganggap rendah bangsa Ethiopia. Sehingga kehadiran Balqis tidak diterima..."
"Mana yang ingin kau ceritakan. Mimpimu atau sang Ratu Balqis?"
"O, ya maaf. Aku akan lanjutkan ceritaku." Kerbauku sedikit berguncang. Seekor pitak menggigit paha belakangnya. Dudukku sedikit bergeser dan hampir-hampir saja terjatuh. Setelah kubetulkan tempat dudukku, kemudian kuceritakan mimpiku.
Bagiku ini mimpi yang agak aneh. Bagaimana bisa mimpi tentang Balqis tiba-tiba menghampiriku. Adakah mimpi ini hanya sebagai penghibur jiwaku, setelah semalam aku bermunajat di hadapan Tuhan tentang keraguanku. Aku dipaksa oleh ibuku untuk kawin dengan seorang perempuan yang menurutku tak cantik. Tetapi aku juga tak bisa mengatakannya jelek. Atau lebih tepatnya biasa-biasa saja. Padahal aku telah menyepakati tentang pernikahan dengan perempuan pilihanku sendiri. Aku semalam minta kepastian pilihan pada Tuhan. Pilihanku atau pilihan ibuku yang lebih baik. Setelah bermunajat, aku terlelap di atas sajadah. Dalam lelapku Tuhan mengirim Ratu Balqis ke dalam mimpiku sebagai pertanda. Tapi kenapa Ratu Balqis?
Ratu Balqis dalam mimpiku mirip artis Sakira. Kulitnya tidak terlalu hitam, tetapi dari bibirnya masih menampilkan keturunan aslinya, tebal dan cenderung sensual. Saat aku melamarnya, dia berpenampilan menawan, dengan pakaian berjuntai-juntai ala sari India. Dia menyambutku dengan senyum penuh cinta, bahkan aku tergoda karenanya. Kemudian dia langsung menyambut tanganku. Dia mengiringi langkahku menuju ke tangga-tangga istana. Di kanan kiri kami adalah para pelayan yang merunduk hormat menyambut kehadiran kami. Aku justru menjadi tak percaya diri dengan perlakuan ini. Bahkan sempat kulihat sandalku yang berlepasan rekatannya. Nampak sangat lusuh jika disebandingkan dengan lantai istana Ratu Balqis. Tetapi dalam benakku tersemat bangga, karena sebentar lagi aku akan dinobatkan sebagai raja bagi kerajaan Saba.
"Luar biasa. Mimpi yang indah. Itu pasti pertanda baik untukmu," tanggapan Samsu, kawan karibku sejak kecil itu. Kemudian dia turun dari kerbaunya, serta menalikan kerbaunya di palang-palang bambu. Kuikuti pula apa yang dia perbuat pada kerbaunya. Kami pun melanjutkan percakapan sambil berjalan di atas pematang. Dia di depan, aku di belakangnya. Kanan kiri keluasan sawah sehabis dipanen.
"Tapi aku belum mendapat kepastian akan pilihanku. Pertanda bagi siapa Ratu Balqis menurutmu? Untuk gadis pilihanku, atau pilihan ibuku?" tanyaku berharap pertimbangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Historia Corta...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...