BENGKEL TARJO

6 2 0
                                    

Langit masih berwarna jingga ketika aku dan Tarjo menginjakkan kaki di terminal itu. Tujuanku sudah pasti, meski masih ada gangguan di benakku. Semacam keraguan, mungkin? Tapi bukan, lebih pada ketakpercayaan terhadap pilihan hidup yang akan aku jalani. Ada sebuah simpul di benakku yang masih belum bisa kuurai. Simpul itu mengikat erat aliran darahku, membuat diriku tak segera melangkah ketika tas besarku sudah diturunkan kenek bus dan setengah dilempar ke samping mendekati trotoar. Sesaat tas itu teronggok sendirian hingga seluruh penumpang turun dan bus merangkak menjauh.

"Hei!! Segera ambil tasmu! Di sini banyak mata rakus mengincarnya!" Tarjo memukul bahuku, membangunkan keterpesonaanku sesaat menyaksikan keramaian yang menyesakkan.

Seingatku, itu adalah kali pertama melihat keramaian yang keterlaluan. Keramaian hampir sama memang pernah kulihat di kampung halaman, yakni ketika melihat layar tancap atau pasar malam. Tapi bagiku keramaian terminal itu melebihi keramaian yang pernah kulihat di kampung. Dan aku masih meyakinkan diri akan menjadi bagian dari hiruk pikuk itu.

"Ayo! Jangan bengong! Dimakan gendam tahu rasa, lu!" Tarjo segera menyeretku, seakan aku menjelma kembali menjadi kanak-kanak yang ditakutkan hilang di keramaian.

Seketika bayang-bayang masa kecilku mengembara, ketika aku pernah lepas dari gandengan tangan Mak saat menyaksikan layar tancap. Gara-gara itu, film Warkop yang semestinya bisa kunikmati dengan terpingkal-pingkal karena kekonyolan dan kengawuran cerita, justru aku menangis sesenggukan menerobos di antara kerumunan manusia setelah menyadari aku tak berada di samping Mak. Tak ada yang peduli dengan tangisku, semua mata terbius pada layar putih berjamur yang menayangkan gambar hidup. Bagiku itu adalah kain putih ajaib, sehingga mampu menampilkan manusia seperti aslinya. Mungkin tangisku tak penting bagi mereka. Bahkan, ketika kutemukan Mak, dia pun tak menyadari kalau anaknya sudah tak ada di sampingnya.

Mungkin Tarjo tak mau kehilanganku, sehingga mengandengku dengan erat. Aku pun menjelma menjadi kerbau dicocok hidungnya. Kemanapun Tarjo melangkah, meliuk-liuk di antara ratusan manusia, aku mengekor saja. Sesekali aku hendak berhenti sekedar melempar uang receh pada pengemis, Tarjo menyeretku menjauh. Katanya, "Jangan buang waktu! Jangan buang uangmu!"

Lama-lama aku risih juga diseret terus menerus. Tapi aku sepertinya tak punya pilihan. Bayangkan, laki-laki dewasa bergandengan tangan dengan lelaki dewasa. Beberapa pasang mata tampak mengejek kami, atau lebih tepat memprasangkai kami dengan hal-hal yang tak senonoh. Tapi Tarjo tak peduli. Katanya ketika aku meminta tanganku dilepaskan, "Salman, kamu orang baru di sini. Kalau tidak ingin dimangsa orang, ikuti saja aku. Kamu tentu masih ingat, bagaimana pesan Mak-mu sebelum berangkat kemarin."

Ya, aku masih ingat betul, bagaimana kata Mak sebelum keberangkatanku ke kota, 'Tarjo, Tolong jaga Salman! Salman berangkat utuh, harus kembali utuh. Salman juga harus kembali ke sini. Di Jakarta tidak untuk selamanya!'

'Jangan khawatir Mak. Kepergian Salman untuk sementara waktu, untuk mendapat modal,' jawab Tarjo meyakinkan Mak. 'Setelah Salman pulang nanti, akan bawa uang banyak. Tentunya dengan uang banyak, Salman dan Mak bisa bikin usaha apa saja. Tidak hanya jadi buruh serabutan dengan penghasilan tak tentu.'

'Tapi jangan pengaruhi Salman untuk tinggal di Jakarta,' Mak masih juga sangsi.

'Mak, kalau saya tak pulang kampung itu kan karena saya sudah tak punya saudara di kampung. Orang tua saya kan sudah meninggal semua. Kakak perempuanku satu-satunya sekarang sudah berkeluarga di Brunei. Saya pulang untuk siapa? Sementara di Jakarta, saya sudah punya bengkel,' pembenaran Tarjo.

Aku pun membayangkan akan membantu Tarjo mengembangkan bengkelnya. Dan aku pikir itu memang sangat pas dengan latar belakang pendidikan Tarjo yang STM.

RACAU (Kumpulan Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang