Bila saja air diguyurkan ke tubuh Markum, pastilah garis-garis ketampanan Markum akan kelihatan lebih jelas. Minimal ada air yang diusapkan ke wajahnya, sedikit akan memberi pemandangan elok pada wajahnya. Tetapi Markum tidak melakukan itu semua, atau memang tidak mau melakukan itu semua. Akibatnya semua orang berkesimpulan, Markum gila. Bahkan orang yang baru melihat Markum pun akan berkesimpulan sama dengan kebanyak orang: Markum gila.
Kucel, kusut, gimbal, bau, gigi hitam kecoklatan, berpadu dalam sosok bernama Markum. Sosok yang juga disandang oleh kebanyakan orang gila, kecuali orang gila yang ada di rumah sakit jiwa. Hanya baju Markum saja yang kelihatan bersih karena baju Markum selalu dicuci oleh neneknya.
"Aku menolak Markum masuk rumah sakit jiwa. Markum itu tidak sakit jiwa! Kalau kalian tetap memaksa Markum masuk rumah sakit jiwa, berarti kalian telah mempermalukan Markum!" penolakan Nenek Markum sangat keras, ketika ibu Markum bersikukuh memasukkan Markum ke rumah sakit jiwa.
"Kalau kalian tetap memaksa Markum, lebih baik dia ikut aku!"
Entahlah, aku sendiri termasuk manusia normal atau bukan, karena aku lebih setuju dengan Nenek Markum kalau Markum normal. Tetapi untuk menjelaskan normalnya Markum pada orang lain aku kesulitan, karena aku tidak punya ilmunya.
Aku dan Markum dulunya teman sekolah, satu kelas selama tiga tahun di SMP. Aku mengenal Markum sebagai remaja yang cukup cerdas. Dia termasuk siswa dalam kategori seperempat ke atas dalam prestasi, meski tidak pernah meraih prestasi puncak. Tetapi sudah cukup bisa dijadikan bahan cari contekan saat kelas kami ulangan. Dan aku akui dia juga pemurah, karena dia akan memberikan jawaban yang dimilikinya selama dia bisa mengerjakannya. Dia juga akan mengatakan apa adanya, jika tidak bisa mengerjakan. Inilah alasan pertamaku mengatakan kalau Markum normal.
Aku katakan pula, kalau Markum adalah lelaki tampan. Bukan hanya aku yang pernah jatuh hati, teman-teman perempuanku banyak yang memberi kesan sama, Markum adalah lelaki tampan. Berkulit putih Jawa, berambut lurus dan selalu disisir rapi ke arah samping. Aku menduga kalau Markum adalah pewaris wajah ibunya yang cantik dan berwajah mungil.
Akan tetapi, justru ibu Markumlah yang pertama kali punya ide untuk memasukkan Markum ke rumah sakit jiwa. Dengan alasan, Markum sudah dianggap oleh kebanyakan orang tidak normal lagi. Bahkan aku sempat melihat sendiri bagaimana ibu Markum mengusir anaknya.
"Markum, tinggalkan rumah ini sebelum semua orang menganggapmu gila!"
"Saya tidak gila, Bu! Saya hanya sakit," bela Markum.
"Siapa yang mengatakan kamu gila? Aku hanya mengatakan, kamu seperti orang gila! Lihat penampilanmu yang tidak pernah mandi itu..."
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?"
"Mandi!"
"Markum tidak mungkin mandi, Bu! Markum takut air, Bu?"
"Baiklah kalau memang tidak mau mandi. Jangan tinggal di rumah ini! Ibu tidak mau menanggung malu, karena semua orang sudah terlanjur menganggapmu gila!"
Jebret!!! Pintu rumah itu ditutup dengan kasar. Markum hanya berdiri termangu di depan pintu, sementara malam semakin larut. Markum pun harus tidur di dipan bambu di bawah pohon jambu. Sejak saat itulah Markum tiap harinya harus tidur di bawah pohon jambu. Semua orang semakin kuat menyimpulkan, kalau Markum sakit jiwa.
Markum pantang menyerah, tiap hari dia terus merayu ibunya untuk diizinkan masuk rumah. Tetapi rupanya pintu itu sudah benar-benar tertutup untuk Markum selama-lamanya. Bahkan, puncak kejengkelan ibunya dilampiaskan dengan mengguyur Markum dengan air bekas cucian. Kontan saja Markum melompat. Markum pun segera melepas bajunya sampai telanjang bulat dan berlarian kesana kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Conto...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...