Ring tone lagu Cinta Terlarang-The Virgin kembali terdengar dari sakuku untuk kedua kalinya. Mulanya aku tak mengacuhkannya. Aku sedang tidak mood untuk angkat telepon, siapapun itu. Sepenting apapun itu. Bagiku pekerjaanku kali ini lebih penting. Angka-angka siswaku harus segera kumasukkan ke format data nilai, karena hari ini batas deadline sampai pukul 13.00. Kalau tidak selesai, pastinya akan kena umpatan Bu Gunarti, wali kelas XII IPA 4. Masih kuingat kata-katanya kemarin, "Nilai rapor harus jadi besok jam 1 siang. Tinggal nilai Pak Ahmad yang belum saya terima. Tolong Bapak jangan menyulitkan! Pak Ahmad sudah berkali-kali saya ingatkan! Nilainya, Pak. Nilainya, Pak. Tetapi Bapak punya seribu alasan. Tapi untuk besok, saya tak mau tahu alasan. Maksimal jam 1 siang. Kalau tidak, khusus nilai mata pelajaran Bapak saya kosongi. Dan urusannya sama Kepala Sekolah."
"Mohon dimaklumi lah, Bu. Ibu kan tahu sendiri, saya baru saja dikirim Diklat. Mengolah nilai kan nggak mudah," kilahku.
"Pak Ahmad,....Saya mengingatkan, kan sejak sebelum Bapak berangkat Diklat?"
"Betul. Tapi saat itu saya belum mengadakan pengambilan nilai secara keseluruhan."
"Pak Ahmad. Apa sih susahnya mendapatkan nilai? Pak Ahmad selalu mempersulit diri. Nilai yang harus objektif lah. Yang harus dengan kriteria ini itu lah. Masa sudah lama jadi guru nggak pinter-pinter merekayasa nilai. Buang sajalah idealis Pak Ahmad yang keterlaluan itu. Zaman gini masih idealis juga. Kalau Pak Ahmad mempertahankan idealis, saya khawatir nanti malah banyak siswa yang nggak lulus. Apalagi, tahun ini pertama kali Bapak pegang kelas 3."
Aku sebagai guru muda, akan lebih banyak mengalah kalau sudah berhadapan dengan guru senior. Akhirnya aku pun menjawab, "Iyalah Bu, besok saya pastikan selesai sebelum jam satu."
"Saya tunggu besok sebelum jam satu. Kalau tidak ada nilai Pak Ahmad di meja saya sampai jam satu. Terpaksa saya tinggal."
Dari mulai kemarin, akhirnya aku harus kerja keras mengolah nilai-nilai siswa yang masih mentah. Apalagi juga masih ada 4 kelas hasil pekerjaan siswa yang belum sempat kuperiksa termasuk kelas Bu Gunarti. Ini semua gara-gara dapat tugas diklat satu minggu di Bogor. Gara-gara deadline Bu Gunarti pula, idealisku akhirnya kusingkirkan. Beberapa nilai kurekayasa karena tak mungkin mengadakan tes remedial bagi siswa yang nilainya kurang. Belum lagi ring tone dari HP-ku masih juga berulang-ulang menggetar. Semakin menjubelkan kepenatan otakku. Setelah ring tone HP tergetar untuk keempat kalinya, aku pun menyerah. Kuambil HP dari saku, kuintip monitornya, hanya tertera sederetan angka. Artinya, bukan menjadi bagian dari nomor yang aku kenal. Sebegitu pentingnyakah hingga penelepon meng-call-ku berulang kali? Kukernyitkan dahi, ketika nomor itu berkode kota yang tak pernah kukenal. Aku pun terusik untuk menerimanya. Aku diam menunggu tanggapan dari seberang.
"Halo!" sapaan dari seberang.
"Halo?"
"Dari tadi ditelepon nggak diangkat-angkat. Apa Bapak memang mencoba menghindar?!" pertanyaan dari seberang terasa emosional di telingaku. Aku mencoba mengidentifikasi suaranya, barangkali aku sudah mengenalnya.
"Ini siapa, ya?"
"Bapak memangnya tidak mengenal nomor ini?! Tidak usah pura-pura, Pak!"
"Saya tidak pernah menyimpan nomor ini."
"Maaf, Pak! Saya suami dari Bu Ruqoyah dari Indramayu. Bapak kenal Bu Ruqoyah, kan?"
"O..ya, ya saya kenal. Kemarin diklat bareng saya di Bogor. Ada apa, Pak?"
"Kenalkan, saya suaminya, Pak! Apa benar Bu Ruqoyah kemarin pulangnya bareng Bapak?" Nadanya masih terasa emosional.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Truyện Ngắn...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...