Lelaki tua bertongkat itu masih sempat menyapaku. Namun, aku tak peduli. Sapanya juga masih seperti dulu, "Apa kabarmu, Nak?" Semula aku masih rajin menjawab dengan kata "baik". Lalu kulanjutkan dengan pertanyaan,"Kakek mau ke mana?" Jawabnya juga masih sama dengan hari-hari kemarin, "Cari udara segar, Nak."
Sudah sebegitu burukkah udara di sini, hingga kakek tua dengan tongkatnya selalu berjalan ke arah matahari terbit untuk mencari udara segar.
Sejak yang aku ingat, kakek tua itu masih juga seperti dulu. Ketuaan dan kerentaannya tidak cepat berubah. Memang keriputnya semakin bertambah, demikian juga dengan putih rambutnya semakin memenuhi seluruh permukaan kepalanya. Bajunya yang compang camping, semakin compang-camping. Namun tongkatnya masih kokoh dan setia menemaninya. Kayu apakah gerangan? Banyak orang yang mempertanyakan perihal tongkatnya.
Suatu waktu sang Kakek pernah bercerita kepadaku perihal tongkat itu, "Tongkat ini dulu banyak yang memiliki, Nak. Teman-teman seperjuangan Kakek hampir semuanya punya tongkat ini. Tapi rupanya mereka kurang merawatnya, sehingga keropos dimakan rayap. Bahkan ada pula yang hilang dicuri orang."
"Kakek dapat dari mana tongkat itu," tanyaku basa basi.
"Tongkat ini warisan Eyang Buyut saya. Konon kayu tongkat ini berasal dari hatinya pohon wangi."
"Apa itu, Kek?" aku justru menjadi penasaran.
"Setiap pohon yang tua itu, tengahnya kan ada hatinya. Orang menyebutnya galih. Nah, tengahnya kayu itulah yang dinamakan hati."
Kakek itu pun berlalu. Selama hidupku, kakek itu hanya menyisakan cerita tentang tongkatnya. Selanjutnya hanyalah sapaan rutinitas, "Apa kabarmu, Nak?" yang kemudian semakin lama semakin terlupakan, karena aku pergi meninggalkan tempat itu. Namun sapaannya yang terakhir sebelum aku meninggalkan tempat itu, justru sering terngiang. Bahkan ketika aku kuliah di jurusan Ekonomi sampai kemudian lulus, sapaan kakek yang terakhir kali kujadikan patokan dalam menghitung waktu. Waktu berapa lama aku kuliah. Waktu berapa lama aku tak mendapat pekerjaan. Dan waktu berapa lama aku belum mendapatkan jodoh.
Memang setelah lulus kuliah, aku seperti menjalani hari-hari yang hampa. Aku sempat menjabat Direktur Utama sebuah perusahaan bertaraf internasional. Jelas, materi aku tak pernah kekurangan. Rutinitas hidupku berhadapan dengan mesin-mesin hidup, tapi tak dinamis. Demikian juga dengan istriku, tak ubahnya seperti mesin-mesin itu pula. Sehingga waktunya selalu dihitung dengan uang. Akibatnya hubungan kami tak lebih dari ikatan nafsu. Meskipun kami punya anak cucu selusin, akhirnya kami pun cerai di usai senja. Banyak orang pun kaget, "Keluarga Besar Brahmanto cerai?! Bukankah mereka adalah keluarga yang harmonis?"
Beribu-ribu mata pun menjadi saksi atas perceraian itu. Karena kabar perceraian itu ditayangkan melalui layar kaca. Yah, aku bisa memaklumi, karena memang keluarga kami adalah keluarga terhormat menurut ukuran mereka.
Aku memilih pergi menjauh dari lingkungan bekas keluargaku. Aku memilih pulang ke asal. Dimana aku merindukan sang Kakek dengan tongkatnya.
Ketika aku pergi dengan membawa baju seadanya, kubungkus dengan selimut, banyak yang mengejekku, "Dasar orang tidak waras!" Tapi aku tak peduli. Aku berlalu saja, tanpa ada yang mengantarnya. Bahkan anakku hanya memandangku dari dalam mobilnya yang mewah. Kemudian perlahan-lahan menyalibku. Aku sempat tertegun, namun kemudian tak peduli. Aku pikir tak ada gunanya, mereka telah dididik oleh mesin-mesin untuk menjadi mesin-mesin.
Kususuri jalan-jalan sesak itu. Matahari mengapung di awan. Teriknya serasa menghidupkan kembali pori-poriku, kemudian mengalirkan keringat kental. Sudah terlalu lama aku melupakan keringat itu, karena aku terlalu lama bermandikan ozone. Sesaat kulitku seperti terkelupas, sebelum kemudian memerah kehitam-hitaman. Ultraviolet benar-benar telah membakarku di hari itu. Tapi ingatan pada tempat asalku, melupakan kepedihan fisik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Short Story...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...