PEMBERONTAKAN PUTRI ISTANA

10 2 0
                                    

Alarm sudah menggetar dua kali, istriku tak juga bangun dari pembaringan. Jarum jam sudah melangkah menjauh dari titik kebiasaannya bangun, jam 3 pagi. Biasanya begitu mendengar alarm, tubuhnya segera disentakkan terduduk seperti baru menyelesaikan mimpi buruk. Selanjutnya segera bergerak dengan langkah tegap ke kamar mandi, ambil air wudhu. Selanjutnya bertahajut sampai menjelang subuh. Seusai berjamaah subuh di Mushola Haji Mahbub, barulah menyiapkan segala kebutuhan perut di dapur. Sehingga saat aku akan berangkat kerja, sudah terhidang secangkir kopi untukku dan dua gelas susu coklat untuk anak-anakku. Di sampingnya sudah mengepul nasi yang dibagi dalam piring-piring untuk didinginkan. Kemudian kami pun bisa bersantap bersama dalam satu meja. Sementara istriku menatapi kepuasan kami akan hasil masakannya. Rutinitas itu sudah berlangsung 10 tahun sejak awal pernikahan kami. Sejak kami masih tinggal di kamar kos, kemudian berpindah ke rumah kontrak, hingga tinggal di rumah cicilan yang masih akan lunas 10 tahun lagi. Rutinitas ini jarang sekali meleset, seperti perputaran jarum waktu itu sendiri.

Tetapi tak kulihat semangatnya di pagi itu. Dia masih terbaring malas dengan selimut garis yang melingkar-lingkar. Padahal tak ada kesibukan pada hari kemarin yang memaksa tubuhnya bermanja lebih lama di ranjang tidur.

"Ma, nggak bangun?" Kugoyang tubuhnya. Dia hanya melenguh. Wajahnya menyuram. Kecantikannya tiba-tiba memudar dari pandanganku. Firasatku memberi tahu, ada masalah yang mencengkeram benaknya. Kemudian menyedot urat-urat wajahnya, hingga menariknya ke cekungan yang dalam. Adakah sumber masalah itu dariku? Batinku mencoba mengoreksi diri. Tiga rumus kebahagian hidup berumah tangga sudah kupenuhi, kesetiaan, kekayaan (meski tak melimpah), dan 'kehangatan.' "Ma, cahaya pagi sudah meremang. Mama nggak bangun?" Kupijat lembut betisnya, pula kuberi ciuman dikeningnya. Barulah kemudian dia terlonjak bangun. Dia mencoba tersenyum, tetapi ada beban yang memberati bibirnya. Senyum itu hampa oleh rasa.

"Katakanlah. Kulihat ada beban yang mengusikmu?"

Tanyaku hanya dijawab dengan goyangan tangan. Kemudian dia menghambur meninggalkan kamar, menuju tempat pembuangan hajat. Kecipak air dari dalam kamar kecil kudengar malas. Dia kelihatannya tak sungguh-sungguh buang hajat, melainkan menyuntuki diri di kamar mandi. Berlama-lama di sana, dan aku setia menunggunya di samping pintu.

"Mama nggak enak badan?" tanyaku setengah teriak dari luar toilet.

"Semuanya baik-baik saja kok, Pa?" Dia pun keluar kamar mandi, dan kami berdiri berhadap-hadapan di depan toilet. Dia mencoba meyakinkan diri, bahwa tak ada kemuraman di wajahnya. Bilasan air wudhunya dikiranya menutupi kemurungannya. "Apakah aku terlihat sebagai seorang ibu rumah tangga yang sedih?"

"Mama jangan membohongi Papa. Sejak kapan Mama belajar berbohong dengan Papa?"

Dia memalingkan wajah, "Segera ambilah wudhu, Pa. Kita salat jamaah di rumah saja."

Seusai salat subuh biasanya istriku bersimpuh berlama-lama memutar tasbihnya. Tetapi juga tidak terjadi di pagi itu, dia langsung melompat dari sajadahnya dan bergerak ke dapur. Segera kudengar benturan-benturan kecil peralatan dapur dari arah dapur. Aku segera memburunya. Kulihat istriku mengambil perlengkapan dapur dari dinding, menaruh panci yang sudah diisi air di atas kompor, kemudian api terpancar dari bawahnya. Api itu seakan ikut membakar perasaanku. Aku sebenarnya tak pernah mengamati sampai sedetil itu apa yang dilakukan istriku. Biasanya aku akan lebih banyak membuang waktuku di depan televisi untuk menyaksikan berita pagi. Tapi pagi itu, aku mengamati setiap gerak istriku di dapur.

"Bikin mie goreng instan dan ceplok telur saja ya, Pa?" Dia mencoba mencari chanel percakapan.

"Ma, Papa ingin bicara."

"Bicara saja."

"Ini serius, Ma. Mama kok ketus gitu."

"Papa terlalu berprasangka saja."

RACAU (Kumpulan Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang