REINKARNASI PARA TIKUS

17 3 0
                                    

Sebelum aku bercerita tentang tikus, akan kusampaikan lintasan pikiran yang pernah singgah di otakku saat aku mengikuti perkuliahan sastra klasik. Kenapa lintasan pikiran ini harus kusampaikan? Karena lintasan pikiran ini sangat berkait erat dengan ceritaku tentang reinkarnasi para tikus di sawah desaku. Sastra klasik yang dibawa oleh agama-agama pagan India, seperti epos Ramayana dan Mahabarata, sangat intens bercerita tentang reinkarnasi. Sebuah kelahiran selalu dianggap sebagai buah kehidupan masa lalu. Manusia akan terlahir kembali setelah mati. Kelahiran bisa bermacam-macam. Mereka yang menyembah para dewa maka akan terlahir sebagai dewa. Mereka yang mengabdi pada raksasa maka akan terlahir sebagai raksasa. Atau mereka yang kena kutukan, bisa jadi terlahir sebagai binatang. Aku pun jadi berpikir, kehidupan macam apakah sebelumnya aku. Dalam benakku terpikir, mungkin aku terlahir dari reinkarnasi para ksatria, atau jangan-jangan reinkarnasi para tikus.

Selama ini, aku tak mempercayai pemahaman reinkarnasi semacam itu. Tetapi aku tak pernah menafikkan pikiran-pikiran reinkarnasi dalam benak, meski dalam bentuk yang beda. Inilah yang akan kuceritakan padamu tentang reinkarnasi para tikus.

***

Ini kesedihan yang menumpuk bagi para petani di desa kami. Cuaca tak menentu, mengakibatkan ketakseimbangan alam. Hujan tak lagi hanya hadir di musim penghujan, tetapi hujan juga hadir di musim kemarau. Hujan pun menjadi sepanjang tahun. Di awal-awal ini menjadi anugrah bagi para petani. Padi sepanjang tahun akan mengalami keberlimpahan hasil. Bahkan Pak Somad pernah berkata, "Hujan ini menunjukkan kemurahan Tuhan bagi para tani. Tetapi nggak tahu lagi kalau musim kemarau yang diperpanjang."

"Tuhan telah membagi-bagi cuaca dengan takaran yang tepat, Kang. Tanah kita ini cocoknya enam bulan hujan, enam bulan panas. Musim penghujan kali ini saya kira sudah di luar takaran. Kalau ini berlangsung lebih lama lagi, ya bukan anugrah lagi, tapi bencana. Jangan-jangan Tuhan memang sedang menghukum kita, Kang." timpal Bapakku yang guru IPA, yang sekaligus petani. Sudah sebagaimana mestinya, kalau Bapak benar-benar paham tentang cuaca.

Ketakberubahan yang berlangsung selama setahun setengah melahirkan kejemuan tersendiri. Sepanjang tahun, tanah sawah berhias padi. Tak ada lagi jagung di sana, karena jagung tak pernah tahan dengan air. Petani yang memaksa tanam jagung, karena menyangka sudah masuk musim kemarau, akhirnya ditimpa kerugian yang berlipat-lipat. Saat jagung-jagung sudah tumbuh selutut, hujan merusakkan lahan jagung. Akar jagung tak pernah tahan air. Jagung pun mati sebelum sempat berbuah.

Sawah juga tak lagi ditanam kacang-kacangan. Padahal kacang-kacangan sangat dibutuhkan tanah karena mampu menyerap nitrogen dari udara secara langsung. Kacang-kacangan biasanya ditanam para petani bukan sekedar untuk memetik hasilnya saja, melainkan untuk mengembalikan kemudaan tanah. Yakni mengembalikan unsur nitrogen dalam tanah, untuk memperbarui kesuburan tanah. Jika musim penghujan dipaksakan juga menanam kacang-kacangan, yang ada hanyalah hijaunya dedaunan karena kelebihan air, tetapi tak banyak buah yang dihasilkan.

Dan kamu tahu, mengapa harga satu kilo cabe menyerupai harga 1 gram emas? Salah satu sebabnya musim kemarau yang tak juga hadir. Cabe tak pernah bisa tahan dengan air hujan. Begitu cabe-cabe itu berbuah muda kemudian terkena air hujan, maka rontok tak bisa lagi dikendalikan. Harga cabe pun melompat tak terkendali pula.

Akhirnya tetap saja tak ada pilihan lain yang dilakukan para petani, selain terus menerus menanami sawahnya dengan padi, padi dan padi lagi. Hasil padi memang melimpah, tetapi nasib tanah terancam. Untuk memaksa agar tanah tetap bertahan subur, penggunaan pupuk anorganik di luar dosis pun tak bisa dihindari. Nasib tanah hanya bergantung dari pupuk kimia. Ini ibarat manusia sekarat yang hanya bergantung hidup dari cairan infus dan tabung oksigen. Tanah pun terancam kesuburannya dan hampir-hampir saja mati.

Sudah empat kali panen, sawah-sawah di desa kami berhias padi. Aku pun rindu pada jagung, kedelai, cabai, semangka, tomat, terung, kacang panjang dan mentimun, yang biasanya menjadi varian lain bagi para petani.

RACAU (Kumpulan Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang