Tenggorokan Bapak seperti tersekat benda tumpul yang mengeras, hingga nafasnya tersentak naik turun. Persis kendaraan bermotor yang bensinnya dicampur minyak tanah, meletup-letup. Aku hanya terpaku di samping ranjang Bapak semenjak kedatanganku dari Surabaya. Beberapa saat tidak ada kata yang bisa aku ucapkan.
"Pak, Rohmad datang..." panggil ibu mencoba menyadarkan bapak.
"Heeeh!" Bapak seperti hendak bicara, tetapi yang keluar hanya suara yang tersekat oleh tenggorokan. Lagi-lagi aku tidak bisa bicara. Kalut dalam pikiran yang tak aku mengerti. Lama. Aku hanya melihat bujuran tubuh bapak yang kelihatan sudah tidak berdaya dan sesekali menggelinjang seakan merasakan sakit yang tak aku pahami. Aku masih tak percaya melihat itu semua. Mas Budi, kakakku terduduk di kursi dan kelihatan sangat capai, resah, bingung; semua menyatu. Ibu mencoba tetap kelihatan tegar.
"Pak. Saya Rohmad, Pak. Maafkan Rohmad, Pak. Rohmad datang terlambat." Ku dekatkan mulutku ke telinga bapak.
"Heeeh..!" jawab bapak. Nafasnya seakan hendak meledak. Tangan bapak mencoba meraih selang yang dimasukkan lewat lubang hidung. Ibu segera menepisnya. Bapak berontak. Aku mencoba membantu dengan memegang kaki bapak yang dihentak-hentakkan. Kaki itu terasa panas. Bapak semakin meronta keras.
Mas Budi segera mengambil inisiatif memanggil suster jaga. Dengan cekatan suster itu segera mengikat tangan bapak ke tepi ranjang dengan robekan kain kasa. Kasihan Bapak harus diperlakukan semacam itu, benakku berontak.
Sungguh, ini kejadian pertama dan tidak pernah aku sangka kalau bapak harus menderita seperti itu. Padahal satu bulan sebelum bapak masuk rumah sakit, masih sempat datang ke Surabaya untuk melihat rumahku yang baru. Rumah yang sepenuhnya bukan dari hasil jerih payahku sendiri. Rumah baru yang juga bagian dari sumbangsih bapak. Demikian juga yang dilakukan bapak terhadap seluruh anak-anaknya. Mas Budi berhasil menjadi pengusaha genteng beton, modal awalnya dari bapak. Mas Herman, mampu memasok kebutuhan para pedagang pasar serta pedagang klontong karena diberi modal bapak. Dik Siti menjadi agen minyak tanah juga dimodali bapak.
Bagi kami sekeluarga, Bapak adalah pahlawan keluarga yang dengan kesabaran dan ketegasannya, mampu menjadikan anak-anaknya sukses dengan caranya sendiri-sendiri. Bapak tidak pernah memaksa anak-anaknya mau jadi apa. Pesannya sebenarnya hanyalah pesan klise, "Jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Kalau kamu ingin kuliah, Bapak akan biayai. Tapi kuliah yang bener. Kalau ingin usaha, bapak akan mencoba membantu sebisanya." Nasehat yang senantiasa terpatri di hati anak-anaknya, karena nasehat itu diulang-ulang setiap kami kumpul bersama di hari lebaran. Dari keempat saudara, akulah yang memilih kuliah, mengambil jurusan Sospol, dan sekarang menjadi pegawai di kantor Pemda.
"Kenapa Bapak bisa begini, Bu?" tanyaku.
"Berhari-hari Bapakmu mengeluh tidak bisa tidur. Saya minta ke dokter tidak mau. Tapi, diam-diam Bapakmu minta ditensi temannya. Tensinya 290. tapi Bapakmu masih sempat naik sepeda motor sendiri. Sampai di rumah, Bapak langsung ambruk. Dan tadi malam tidak sadarkan diri. Sampai sekarang," cerita ibu. "Padahal dua hari sebelumnya Bapakmu masih sempat membimbing ngaji di mushola. Masih sempat memimpin pengajian di kampung."
Ya, memang kami tidak pernah melihat bapak mengeluh sepanjang hidupnya. Bapak orang yang senantiasa menahan amarah. Bapak pernah ditampar Pak Lurah gara-gara tidak memakai seragam batik saat ada kegiatan resmi penyambutan Pak Bupati. "Bapak ini saya undang, saya anggap sebagai sesepuh desa! Seharusnya menjadi contoh! Atau mungkin Bapak ingin melawan pemerintahan! Atau mungkin Bapak bagian dari aliran sesat!" umpatan Pak Lurah di depan beberapa aparat desa. Bapak tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Gara-gara tuduhan Pak Lurah, mushola di samping rumah hampir saja dibakar oleh sekelompok orang. Bapak diumpat-umpat sebagai penyebar aliran sesat. Barangkali, kebaikan Bapak terhadap lingkungan sekitar sehingga Bapak dapat diselamatkan beberapa warga. Bapak sempat menginap di kantor polisi semalam untuk diinterogasi. Bapak selamat dari tuduhan penganut aliran sesat yang saat itu sedang naik daun. Tidak ada yang bisa membuktikan kalau Bapak penganut aliran sesat. Perkara Bapak tidak memakai baju batik, karena Bapak memang tidak punya baju batik. Hampir seluruh baju Bapak berwarna putih polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Short Story...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...