Akhir-akhir ini, aku merasa seperti ada yang tumbuh di otakku. Bisa jadi yang tumbuh ini semacam makhluk hidup sejenis jamur, atau bisa juga sejenis binatang, atau mungkin pula janin manusia. Dia sering bergerak-gerak ke sana ke mari, menggeremet dalam sel-sel otakku. Menyakitkan. Setiap kali makhluk itu bergerak, saraf-sarafku seperti dibetot dari arah yang berlawanan, diinjak-injak binatang berbentuk gajah tapi bukan gajah, atau disetrum aliran listrik berkilo-kilo watt. Saat itu terjadi, aku tak dapat lagi mengendalikan diriku. Akan aku cengkeram kepalaku sekuat-kuatnya. Kubentur-benturkan kepalaku ke bantal. Dan di puncak kesakitanku, aku akan berteriak sekeras-keras, meraung-raung hingga menghilang kesadaranku. Saat kesadaranku memulih, akupun kembali normal.
Aku sudah konsultasikan penyakitku ini pada dokter spesialis penyakit syaraf. Katanya dalam otakku tumbuh sel kanker. Dan aku disuruh memastikannya dengan foto rontgen. Tetapi aku tak pernah mau melakukannya. Aku takut jika apa yang kuderita benar-benar kanker. Dan jika itu terjadi, batas usiaku tidak akan lama lagi. Padahal aku masih berharap untuk bisa hidup lama lagi. Kalau boleh pinjam kalimatnya Chairil Anwar: Aku masih ingin hidup seribu tahun lagi. Untuk itu, kutanamkan prasangka, kalau makhluk di dalam otakku bukanlah kanker.
Semakin hari, makhluk itu semakin tumbuh yang mungkin memangsa sel otakku satu persatu. Padahal, kata seorang ahli otak, di setiap sel otak tersimpan ribuan rekaman. Panjangnya sel otak ini jika dijajar, bisa sepanjang bumi-bulan PP 3 kali. Puih, hebat benar manusia jika saja mampu menggerakkan otaknya secara maksimal. Bisa jadi, pikiran Nietze tentang uberman bisa diwujudkan. Ah, semua itu akan menjadi sia-sia, jika satu persatu sel otakku akhirnya dimangsa monster otak. Yang artinya pula, bisa jadi rekaman otakku satu persatu menghilang. Apa artinya jika satu persatu sel otakku menghilang, pasti kehidupanku akan berakhir. Jika pun hidup, fisikku tak lebih hanya menjadi benda mati.
Ah, sudahlah. Aku selalu mencoba menepis pikiran-pikiran itu. Pikiran yang semakin mendekatkanku pada kematian. Selain itu, belum juga jelas, apa sebenarnya makhluk yang bersemayam di otakku. Keputusan dokter untuk memaksaku memotret isi kepalaku, tetap kutolak. Aku menjauh dari keputusan itu untuk menghindari terkuaknya vonis dokter. Vonis dokter akan mendekatkanku pada kematian saja.
"Ada seorang penyembuh hebat. Tanpa operasi. Semacam dukun, tetapi bukan dukun. Semacam tabib, tetapi juga bukan tabib. Deteksinya sangat akurat, tanpa pengobatan kimiawi," saran teman kerjaku, Budi, Staff Keuangan.
"Adakah pasien yang sudah disembuhkannya?" tanyaku sangsi.
"O...banyak. Aku punya kerabat dekat yang punya tumor di ketiaknya. Dia dapat disembuhkan oleh si Penyembuh ini hanya dengan disuruh membersihkan WC dan kamar mandinya tiga hari sekali. Hasilnya tak masuk akal, dia sembuh total. Masih ada lagi, tetangga kerabatku ini. Dia punya benjolan di kelaminnya. Dokter memvonisnya hernia, harus operasi. Apa kata si Penyembuh? Dia hanya disuruh membersihkan kelaminnya sehabis pipis. Hasilnya luar biasa! Tidak ada satu bulan benjolan itu sudah mengempis. Cobalah Kamu ke sana. Barangkali cocok."
Aku pun tergoda untuk mencobanya. Dengan diantar Budi, aku pun ke tempat praktek si Penyembuh itu.
Rumah si Penyembuh ini sangatlah sederhana. Rumahnya tak permanen, hanyalah ruang papan berlantai semen tak rata. Tetapi di sana, tampak berderet-deret pasien antre. Untuk ikut antre, aku harus daftar dulu di meja pendaftaran, kemudian mendapatkan nomor urut. Para pasien akan dipanggil satu persatu. Tak kurang dari 20 pasien yang berada di depan nomorku. Pengobatan macam apa ini, hingga kebanyakan orang meyakinkan diri bisa tersembuhkan dengan orang yang tak mengenal ilmu kedokteran. Saat manusia dijerat rasa putus asa terhadap penyakitnya, alternatif tak bernalar dijadikan solusi. Begitu pula aku, saat aku menakutkan ilmu empiris kedokteran, aku pun lari ke dunia alternatif yang secara klinis ditolak oleh kebernalaran ilmu kedokteran.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Short Story...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...