Sepedaku berjumpalitan, kuumpat keras-keras jalan berlubang itu. Ini pertama kalinya aku melewati jalan itu. Padahal jelas-jelas ada tanda peringatan, "Awas jalan berlubang!" Semestinya aku paham, kalau peringatan itu membuatku harus jalan pelan-pelan. Tapi aku ingin cepat sampai ke tempat tujuan, itu masalahnya. Dan itu juga sudah menjadi kebiasaanku, baik dalam kondisi tergesa-gesa ataupun tidak. Ada kenikmatan tersendiri ketika aku menaiki sepeda sekencang-kencangnya. Tetapi aku tak pernah terjatuh, kecuali saat melewati jalan itu. Jalan itu adalah jalan tantangan ketika aku sudah merasa mahir mengendarai sepeda dengan kecepatan tinggi. Tetapi dengan jatuhnya aku dari sepeda gara-gara jalan berlubang, aku perlu mengoreksi ulang kemampuanku.
Meskipun aku sempat mengumpat-umpat, menyalahkan jalan berlubang itu, aku tidak berniat kapok untuk melewati jalan itu. Sudah lama aku tahu jalan berlubang itu. Banyak orang yang bilang, "Hati-hati kalau lewat jalan itu. Sulit. Berbahaya. Jelek! Tetapi sudah lama begitu, sampai sekarang masih juga begitu. Padahal berulang kali sudah dilaporkan pada pemerintah setempat. Tetapi jalan itu tidak juga dibetulkan. Berlubang. Apalagi kalau musim penghujan. Becek. Belum lagi ditambah kendaraan besar yang selalu lalu lalang. Semakin menambah lubang saja."
Setahuku jalan itu juga pernah dijadikan bahan protes warga untuk menurunkan Pak Bupati. Spanduk besar dipasang melintang di jalan itu. Spanduk dengan tulisan gaya marah, "Turunkan Bupati, kalau jalan ini tidak juga diperbaiki!" Lantas di tengah jalan ditanami pohon pisang tepat di lubang-lubang jalan itu. Klop sudah. Jalan berlubang, dengan lubang diperdalam untuk menanam pohon pisang. Tidak bertahan lama. Sementara di lubang-lubang yang lain diisi air dan dilepaskan ikan-ikan untuk diselenggarakan lomba mancing.
Kejadian itu hanya sehari, setelah polisi datang dua truk besar, semua warga yang protes bubar. Pohon pisang tidak sempat berbuah. Ikan-ikan dibiarkan menggelepar kekeringan. Menambah sampah di pinggir jalan. Menambah jalan semakin berlubang. Semakin jelek. Aspalpun semakin hilang dari jalan. Yang tinggal adalah jalan penuh lubang dengan serpihan kelupasan aspal.
Batu-batu besar tiba-tiba bermunculan. Jalan semakin sepi, kecuali truk-truk besar pengangkut kayu hutan. Akhirnya yang repot para warga juga, harus menutup jalan berlubang itu dengan tanah seadanya. Itupun tidak bisa bertahan lama. Truk-truk besar masih juga melewatinya. Jalan berlubang yang sudah ditutup tanahpun berlubang lagi.
Kalau ada orang baru lewat selalu bilang, "Sebenarnya jalan ini diaspal apa tidak sih!" Wajar. Karena kalau dilihat seperti jalan yang diaspal, tetapi justru yang kelihatan batu-batu dan tanah-tanah berlubang. Pantaslah setiap orang selalu bilang, "Lewat jalan mana? Jalan aspal atau jalan berlubang?" Pilihan yang sebenarnya sama-sama tidak nyaman. Kalau lewat jalan aspal, berarti perjalanan semakin jauh. Ongkos kendaraan semakin banyak. Kalau lewat jalan berlubang harus ekstra hati-kati. Sehingga jalannya pelan-pelan. Lama juga sampai tujuan.
Setelah berjumpalitan di pagi itu, aku cermati sepedaku. Lecet sedikit. Aman, tak ada masalah. Sepeda mahal. Wajar.
Aku pegangi kaki, tangan, badanku. Aman. Hanya lecet di lutut. Biasa. Kepalaku sedikit berdenyut-denyut, tetapi bukan karena benturan, melainkan karena jengkel yang keterlaluan. Aku masih yakin ini bukan salahku. Ini salah jalan berlubang. Ini salah truk-truk pengangkut kayu hutan yang sering berlalu lalang. Ini salah orang yang protes dan menanam pisang di tengah jalan. Ini salah pemerintah daerah yang tidak segera memperbaiki jalan. Yang jelas aku sudah mahir bersepeda dengan kecepatan tinggi. Itu hobiku sejak kecil, meskipun tak pernah menjadi pembalap. Tetapi orang-orang mengatakan aku pembalap, karena aku selalu memakai baju balap layaknya pembalap. Baju dan celana pres body, sepatu pembalap bermerk mahal, berhelm kecil, berkaos tangan. Dan tiap pagi rutin bersepeda menyusuri jalan naik turun.
Jalan pegunungan dengan vila-vila mewah. Jalan yang kanan kiri dipenuhi hutan jati. Pemandangan yang kelihatan cantik, meskipun sekarang sudah agak gundul. Kayu-kayunya diangkut oleh truk-truk besar yang membuat jalan berlubang. Truk-truk perhutani, katanya. Tapi aku tak pernah mencari tahu. Meskipun sempat terbersit dalam benakku kalau itu truk-truk para pembalak hutan. Belum ada yang protes terhadap keberadaan truk-truk itu. Masih aman. Belum ada tanah longsor, melainkan hanya jalan-jalan berlubang yang semakin lebar dan dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACAU (Kumpulan Cerita)
Cerita Pendek...Kejadian laknat di malam itu tak berhenti sekali, belum sempat aku terbangun dari pembaringan, tentara-tentara lain sudah menyerangku. Menyerangku dengan cara-cara binatang, mengeroyok dengan cara yang egois untuk memuaskan diri sendiri, meningga...