KUBURAN TANPA BATU NISAN

19 5 0
                                    

Seorang perempuan terpekur lama pada sebuah kuburan tanpa batu nisan. Kuburan yang tidak pernah terawat. Kuburan yang kelihatan bukan seperti kuburan. Kuburan yang hanya berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rerumputan liar. Tak ada nama di sana. Kapan penghuni kubur itu lahir dan meninggal tidak terukir di sana. Bahkan Sang Juru Kunci pun tidak pernah tahu, kuburan tanpa batu nisan itu darimana asal usulnya.

Hanya saja seseorang pernah berpesan pada Sang Juru Kunci, "Saya mohon, biarkan kuburan ini tetap begini adanya. Bapak tidak perlu tahu asal usul kuburan ini."

Sang Juru Kunci pun menurut setelah disodori amplop berisi uang yang tidak sedikit.

Sesekali perempuan itu mengusap matanya yang sembab air mata. Seseorang lelaki menghampirinya, "Masih saja kamu menangis setiap kali datang ke sini. Tidakkah lebih baik jika kuburan ini tidak dibiarkan begini. Dibangun lebih baik lagi. Kalau perlu dikasih pagar besi, agar semua orang tahu siapa penghuni kuburan ini."

"Kamu tidak akan pernah mengerti, dan tidak akan aku beri tahu. Tak seorang pun. Kalau saja aku mau memberi batu nisan, aku tidak hanya memberi batu nisan, tetapi aku akan bangun seperti makam para pahlawan dengan keramik berharga jutaan. Jika itu kulakukan, berarti aku mengkhianati Eyang Kakung. Dan bahkan bukan tidak mungkin, akan menambah siksaan bagi Eyang Kakung." jelas perempuan itu atas permintaan yang diulang-ulang.

"Ya sudahlah. Maaf kalau aku kelihatan memaksamu. Mungkin memang aku ditakdirkan untuk tidak pernah memahami asal usulmu dan Eyang Kakungmu. Ayo kita pulang."

Lelaki yang menjadi suami perempuan itu (Tiwi) memang tidak pernah tahu siapa sesungguhnya nama Eyang Kakung. Dia hanya tahu kalau istrinya sering menyebut penghuni kuburan tanpa batu nisan itu "Eyang Kakung". Dan juga sudah menjadi kesepakatan mereka, kalau keberadaan kuburan itu menjadi rahasia mereka. Lelaki itu, Monang, hanya diberi kewajiban untuk mengantarnya ke kuburan tanpa batu nisan jika Tiwi menghendaki, dan tidak diberi hak untuk menanyakan asal usul Eyang Kakung. "Ini adalah kuburan Eyang Kakung. Cukup itu yang harus kamu kenal. Tidak lebih."

Ketika mobil berplat merah itu meninggalkan pemakaman, mendung sudah pekat. Hujan pun tak tertahan. Jalanan ibu kota masih juga macet. Tak lama air sudah menggenang. Tiwi tak peduli. Juga tak peduli lagi pada suaminya yang mengumpat-umpat jalanan.

Pandangan Tiwi menerawang, kenangan Eyang Kakung selalu terkenang, terutama saat-saat menjelang meninggalnya.

Dua puluh tahun telah berlalu, ketika tubuh Eyang Kakung semakin dimakan kerentaannya. Usianya yang hampir seabad tidak juga segera membawa pada titik akhir tujuan hidup alias mati. Usia yang langka untuk di zaman modern ini.

Hari itu terasa suram. Eyang Kakung tidak bersedia dibawa ke dokter lagi ketika fisiknya semakin melemah.

"Eyang, saya panggilkan dokter, ya." Pinta Tiwi sambil meraih gagang telpon. Eyang Kakung yang sedang terbaring menangkap tangan Tiwi.

Tiwi, satu-satunya cucu Eyang Kakung yang setia menungguinya. Sementara anak semata wayang Eyang Kakung, ayah Tiwi, sudah lama tinggal di Amerika. Sebenarnya Tiwi juga hendak di ajak ke Amerika, untuk dikuliahkan di Ohio University. Eyang Kakung mau dititipkan ke panti jompo. Tiwi menolak. Dia lebih memilih tetap tinggal bersama Eyang Kakung untuk merawatnya.

"Tidak usah kamu telpon dokter. Saya tidak mau mendapat masalah lagi, kalau harus dibawa ke rumah sakit. Kamu masih ingat kan pesan Eyang?"

Tiwi mengangguk. "Tapi, Eyang..."

"Sudahlah. Barangkali ini saat tepat Eyang untuk meninggal. Tiwi paham, kan?"

Tiwi sekali lagi mengangguk, meskipun hatinya berkecamuk. Hendak menelpon orang tuanya, takut dipersalahkan lagi, "Sudah saya bilang. Lebih baik kamu ikut kami ke Amerika. Kalau sudah begini, kami juga kan yang direpotkan." Mengingat hal itu, Tiwi mengurungkan niatnya untuk menelpon orang tuanya. Dia lebih memilih merawat sendiri Eyang Kakungnya dengan dibantu pembantunya yang setia.

RACAU (Kumpulan Cerita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang