1

2.3K 110 0
                                    

Happy reading!

Author POV

Ekspresi kelelahan tercetak jelas di wajah Arsen. Kegiatan wisuda yang memakan waktu berjam-jam membuat tubuhnya terasa seperti hampir remuk. Ditambah pergerakannya hanya terbatas, duduk di atas kursi selama beberapa jam membuat bokongnya terasa pegal.

Cowok itu membanting tubuhnya di sofa seraya berkata, "gila gue capek banget."

"Lebay kamu, Sen. Jalan-jalan seharian aja nggak capek, baru duduk empat jam di kursi udah capek," komentar Mama Arini. Wanita berusia kepala empat itu ikut bergabung bersama Arsen di sofa.

"Kan beda Ma," balas Arsen. Cowok itu memejamkan mata, menikmati kenyamanan bersandar di sofa empuk yang berada di ruang keluarga.

"Ngeles aja terus."

Reflek Arsen membuka matanya, ia bisa melihat sosok laki-laki berseragam pilot di hadapannya.

"Loh, Papa kok ada di sini? Bukannya lusa baru pulang?" tanya Arsen keheranan.

"Hari ini jadwal papa tukeran sama temen, jadi besok papa berangkat lagi, dan pulang dua hari setelahnya," jelas Rendi. Laki-laki itu lalu ikut duduk di sofa, dekat dengan Arini.

"Oh, Arsen paham."

"Kamu yakin nggak mau kuliah di luar negeri? Mumpung papa masih bisa biayain kamu," tanya Rendi.

Arsen menghirup napas dalam-dalam. "Arsen nggak mau kuliah di luar, Pa. Arsen nggak suka jauh dari keluarga, lagipula Arsen udah keterima di universitas impian Arsen."

"Sebenarnya papa pengen kamu kuliah di luar negeri, Sen. Tapi balik lagi, semua keputusan ada di tangan kamu."

"Udah Pa, jangan paksakan Arsen. Dia udah dewasa, bisa memilih jalan hidupnya sendiri," ucap Arini menengahi.

Arini paham betul jika Rendi menginginkan Arsen kuliah di luar negeri. Katanya, agar Arsen bisa hidup mandiri di sana. Sebenarnya keinginan Rendi hal yang bagus, tapi mau gimana lagi? Arsen sendiri tidak mau untuk kuliah di negeri orang.

"Pa, buat jadi orang sukses nggak harus lulusan universitas luar negeri. Semua balik ke pribadi masing-masing, Pa," ucap Arsen.

"Wih, anaknya papa udah beneran dewasa ternyata," puji Rendi.

"Ya masa mau kecil terus, Pa. Arsen udah mau lulus SMA, udah harus lebih dewasa."

"Ngomong-ngomong kamu udah tahu gimana keadaan Viola?" tanya Rendi.

Seketika Arsen mendongak, menatap sang papa. "Udah berkali-kali Arsen datang ke rumah Viola, Pa. Tapi Kak Delon sama Tante Dita nggak mau kasih tahu di mana Viola berada. Semua akun media sosial Viola juga nggak aktif semua."

Mama Arini menepuk bahu Arsen beberapa kali, "yang sabar ya, Sen. Mama cuma mau pesan, jangan benci keluarga Viola ya. Mungkin mereka melakukan ini buat kebaikan Viola."

"Iya, Ma. Lagipula aku nggak bisa benci sama mereka, mereka itu keluarga kedua aku, Ma."

Mama Arini tersenyum, "Mama seneng dengernya."

"Velyn tidur kan, Ma?" tanya Arsen.

"Iya, kamu mau ikut tidur siang?"

"Iya, Arsen capek banget. Arsen duluan ya," ucap Arsen.

Setelah mendapat balasan dari sang mama, Arsen beranjak dari duduknya. Kaki panjangnya melangkah menuju kamar yang berada di bawah tangga.

Decitan pintu terdengar, bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka, memperlihatkan kamar dengan nuansa serba biru. Beberapa perabotan memiliki gambar karakter Elsa dan Anna, karakter yang disukai sang adik di film Frozen.

Arsen melepaskann jas dan dasi kupu-kupu yang melekat di tubuhnya, lalu melemparkannya di sofa. Dengan gerakan hati-hati, ia ikut bergabung dengan sang adik di atas ranjang.

Melihat wajah polos sang adik membuat Arsen tersenyum, gadis itu sangat tenang dalam tidurnya. Berbanding terbalik ketika ia bangun, adiknya itu sangat aktif dan cerdas. Terkadang Arsen kualahan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang adik.

Tatapan Arsen beralih pada langit-langit kamar, pikirannya melayang pada sosok sahabatnya, Viola. Entah di mana keberadaan gadis itu sekarang, Viola seakan-akan menghilang begitu saja. Bahkan Arsen tidak mengetahui alasan hilangnya gadis itu. Padahal sebelumnya hubungan mereka terlihat baik-baik saja.

Tak memungkiri jika tidak adanya Viola di sampingnya membuat hidupnya berubah, ia merasa jika semangatnya hilang begitu saja. Ia dan Viola sudah terlanjur begitu dekat bak sepasang kakak dan adik. Dan ia sudah terbiasa melakukan apapun dengan gadis itu.

Arsen mengubah posisi tidurnya menjadi miring mengahadap Velyn, tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk punggung Velyn kala sang adik menggeliat dalam tidurnya.

Mungkin orang lain menganggap jika ia tidak merasakan apapun saat Viola pergi, pasalnya ia tak pernah menunjukkan rasa kehilangannya pada siapapun, kecuali keluarga tentunya. Nyatanya dalam kondisi ia sendirian, ia benar-benar merasa hampa. Hidupnya yang dulu dipenuhi oleh semua hal tentang Viola, kini telah menghilang, meninggalkan sejuta kenangan masa-masa kebersamaan mereka.

Lagi-lagi Arsen menghela napas, bagaimana caranya agar ia bisa menemukan kembali gadis itu? Semua teman yang kenal dengan sosok Viola tak tahu ke mana gadis itu menghilang. Bertanya pada keluarga Viola pun adalah hal yang sia-sia, keluarga Viola sengaja menutupi semuanya. Tak hanya itu, semua akun vmedia sosial milik Viola tiba-tiba non-aktif begitu saja.

Yang masih menjadi pertanyaannya adalah, apa alasan gadis itu pergi? Apa ada sesuatu hal yang Arsen tidak ketahui selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak berhenti berputar di kepala Arsen.

_____________________________________________

Yeay up part 1. Semoga bisa konsisten, biar cerita ini selesai dengan tenggat waktu yang udah ditentukan. Buat kalian yang baca, jangan lupa vote yaaa!

Purwodadi, 14 April 2021

YOU ARE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang