8

862 48 4
                                    

Happy reading!

Author POV

Arsen tiba di rumahnya satu menit yang lalu, pencahayaan di dalam rumah telah dimatikan oleh sang mama. Hal itu menandakan jika mama dan adiknya telah berada di kamar masing-masing, entah telah tidur atau sekedar berbaring dengan ponsel di tangan.

Tanpa membuat banyak kebisingan, Arsen berjalan menuju lantai dua, di mana kamarnya berada. Suasana rumah yang sunyi membuat langkah kakinya terdengar begitu menggema. Letak kamarnya berada tepat di depan tangga, hal itu memudahkan Arsen untuk pergi ke lantai satu dengan mudah.

Arsen membanting tubuhnya pada
ranjang ber-seprai kain bermotif kotak-kotak. Suara napasnya terdengar begitu jelas di ruangan yang sunyi itu. Tatapannya terarah pada langit-langit kamar, ingatannya menerawang kejadian di rumah Viola.

Entah mengapa Arsen merasa ada yang aneh dengan sikap kakak tertua Viola. Abang Viola yang dulunya sangat baik dan ramah kini berubah menjadi cuek dan tegas. Menurut Arsen, perkara ia dan Viola main hingga malam bukan hal yang terlalu serius. Bukankah hal yang wajar jika Viola main bersama teman-temannya hingga tak ingat waktu? Lagipula ini pertama kalinya Viola bertemu kembali dengan Kristo dan Adnan setelah dua tahun berpisah.

Perkataan Bang Ervan berputar terus di ingatannya, Arsen merasa jika ia pengaruh buruk untuk Viola. Padahal sebenarnya Tante Dita sendiri tak bermasalah saat ia mengajak Viola untuk bertemu dengan Kristo dan Adnan.

Lamunan itu seketika buyar kala handphone miliknya berdering. Tangan Arsen meraba sisi ranjang, mencari keberadaan benda persegi panjang itu. Arsen tak bisa menahan senyumnya saat tahu siapa yang meneleponnya.

"Halo selamat malam, Arsen di sini."

"Sen ...."

Arsen yang awalnya ingin menggoda Viola seketika mengurungkan niatnya. Suara lembut Viola terdengar serius.

"Ada apa, Vi? Kenapa belum tidur? Udah jam sepuluh loh."

"Habis ini gue bakal tidur, tapi ada sesuatu yang mau gue tanyain ke lo."

Dahi Arsen berkerut, ia penasaran dengan ucapan Viola, pasalnya suara gadis itu terdengar serius.

"Apa, Vi?"

"Lo sakit hati sama ucapan Bang Ervan?"

Arsen tersenyum tipis. Ia kira ada sesuatu hal yang sangat penting, ternyata hanya perihal ucapan Bang Ervan.

"Nggak kok, Vi."

Hening beberapa saat, kini Viola mengubah menjadi vidio call.

"Jangan bohong, Sen. Nggak tahu kenapa ucapan Bang Ervan nylekit banget. Gue aja sakit hati dengernya."

"Nggak Vi, menurut gue ucapan Bang Ervan nggak ada yang salah kok. Mungkin Bang Ervan cuma mau ingetin supaya lo nggak main sampai malam, mengingat lo perempuan."

"Tapi gue kesel banget, Sen. Seakan-akan gue itu anak sepuluh tahun yang kalau main harus diingetin terus. Gue udah delapan belas tahun, udah tau waktu kalau main."

Cowok itu terdiam hingga beberapa saat, matanya menatap Viola yang tengah memasang ekspresi kesal. Sepertinya gadis itu benar-benar tidak menyukai ucapan sang abang.

"Udah, Vi. Gue tahu lo kesel sama ucapan Bang Ervan, tapi jangan keterusan ya. Mungkin aja Bang Ervan capek mikirin pekerjaannya, jadi maklumin aja. Pasti besok Bang Ervan balik lagi kok."

Gadis berpiyama ungu itu membuang napas kasar, sepertinya ucapan Arsen berhasil membuat Viola luluh.

"Iya, Sen. Gue nggak mungkin bisa benci abang gue sendiri, bagaimanapun juga Bang Ervan pengganti papa buat gue."

"Nah itu lo tahu. Sekarang lo tidur ya, udah malam. Besok bangun pagi, bantuin Tante Dita masak."

Ekspresi Viola mendadak cemberut. "Jadi ceritanya gue diusir nih? Lo nggak mau vidio call sama gue sampai pagi?"

"Nggak."

"Nggak? Arsen jahat banget, sih."

Arsen tertawa puas melihat ekspresi Viola yang benar-benar kesal. Bukannya terlihat garang, Viola malah terlihat semakin menggemaskan.

"Bukan gitu. Cinta boleh goblok jangan, Sayang."

"Arsen apaan sih! Jijik tahu. Panggil gue Vio aja."

"Bilang aja lo baper gue panggil 'sayang'."

"Ah Arsen nggak asik deh. Gue matiin aja ya, bye!"

Tut tut tut

Cowok itu menatap layar ponselnya dengan senyum sumringah. Viola benar-benar menjadi moodboster-nya. Padahal gadis itu tidak melakukan apapun, tapi bisa membuat Arsen yang bad mood kembali good mood.

Kehadiran Viola benar-benar memiliki peran penting dalam hidupnya, Arsen bisa merasakan perbedaannya. Dua tahun tanpa sosok Viola membuat dirinya menjadi sensitif dan pemarah.

Arsen memilih bangkit dari ranjang, langkahnya menuju gitar yang berada di ujung ruangan. Tanpa pikir panjang cowok itu mengambilnya, lalu membawanya menuju balkon kamar.

Arsen mendaratkan pantatnya ke sebuah sofa yang berada di balkon. Suasana malam yang sunyi terasa begitu menenangkan, ditambah cuaca malam ini sangat bagus, jadi penghuni langit terlihat begitu menawan.

Suara petikan gitar mulai terdengar, membuat irama musik yang sudah tidak asing di telinga. Berkat rasa galaunya dua tahun terakhir, Arsen bisa memainkan alat musik petik ini. Walaupun tidak jago, setidaknya ia bisa memainkan satu atau dua lagu dengan lancar.

Bakat bermain gitar tidak diketahui oleh siapapun kecuali keluarganya, rencananya ia akan memberi tahu Viola tentang permainan gitarnya. Ia jadi penasaran bagaimana reaksi cewek itu jika tahu bahwa Arsen bisa memainkan sebuah lagu dengan alat musik ini.

Membayangkan ia duduk berdua dengan Viola di sore hari, lalu ia memainkan gitar dan Viola bernyanyi. Ah baru membayangkan saja sudah membuatnya bahagia, apalagi jika hal itu benar-benar terjadi.

Arsen menggelengkan kepalanya, berusaha membuang semua bayangannya, suatu saat nanti ia pasti akan mewujudkan keinginannya. Semoga saja Tuhan mengabulkan semua keinginannya. 

_______________________________________________

Purwodadi, 12 Mei 2021

YOU ARE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang