27

87 9 0
                                    

Happy reading!

Sejak kembali dari kediaman Ervan semalam, Viola tidak menampakkan dirinya hingga sore ini. Gadis itu mengurung dirinya di kamar tanpa keluar sama sekali. Tentu saja hal itu membuat orang rumah khawatir, terlebih Mama Dita.

Sudah berulang kali beliau mengetuk pintu kamar Viola, membujuk putrinya agar mau membuka pintu kamar. Namun respon gadis itu selalu sama, dia bilang jika tidak ingin bertemu dengan siapapun. Sungguh, hati Mama Dita rasanya tercabik-cabik.

Sejak satu jam lalu Mama Dita memilih duduk di depan kamar Viola, berharap gadis itu mau keluar dari kamar. Beliau juga tengah menunggu kedatangan Delon, putra tengahnya itu mengatakan jika sedang dalam perjalanan menuju ke rumah.

Di sisi lain, Viola tengah meringkuk di lantai kamar. Matanya tertuju ke arah pintu dengan tatapan kosong. Posisinya tidak berubah sejak beberapa jam yang lalu, bahkan ketika Viola bangun dari tidur yang tidak sengaja, posisinya tidak berubah sedikitpun.

Dengan posisi demikian, tentu saja ia mendengar suara Mama Dita. Ia tahu jika sang Mama pasti sangat khawatir dengan kondisinya, apalagi ia tidak keluar dari kamar sejak semalam. Tidak ada asupan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Tapi Viola masih butuh waktu untuk sendiri, ia belum siap untuk bertemu dengan siapapun, terlebih kakak pertamanya. Bahkan ia sengaja menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya.

Viola merasa jika kejadian kemarin merupakan puncaknya. Untuk kali ini Viola akan memberontak, meski ia harus kehilangan seorang kakak nantinya. Nyatanya, Ervan tak pernah mengerti kemauannya. Pria itu sibuk melarang Viola tanpa memberi solusi yang lain.

Samar-samar Viola mendengar suara gaduh yang berasal dari depan kamarnya. Gadis itu hanya melirik tanpa ada niatan untuk bangkit. Berada di posisi yang sama selama beberapa jam tidak membuat tubuhnya pegal. Entahlah, mungkin sudah mati rasa.

Tidak berselang lama, suara gebrakan pintu terdengar nyaring, Viola bisa melihat jika engsel dan baut terlepas dari tempatnya. Dari balik pintu muncul Mama Dita dan Delon dengan wajah panik. Tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya.

"Astaga! Viola sayang," panggil Mama Dita dengan nada bergetar.

Dengan sigap Delon membereskan ranjang Viola yang sudah tidak berbentuk karena ulah sang pemilik kamar. Dengan telaten laki-laki itu menyusun perlengkapan tidur ke tempat semula. Tanpa banyak bicara ia mendekat ke arah Viola, kemudian dengan satu kali hentakan ia membopong tubuh sang adik, membawanya menuju ranjang. Dengan lembut ia merebahkan sang adik di kasur.

"Mama turun ke bawah sebentar," ujar Mama Dita sembari mengusap air mata yang bercucuran entah sejak kapan. Wanita paruh baya itu lantas beranjak dari kamar anak gadisnya.

Viola menolak, gadis itu merubah posisinya menjadi duduk. Tanpa aba-aba ia memeluk sang kakak dengan erat, menumpahkan tangisannya di sana. Rasa sesak kembali terasa, bahkan tanpa bisa dicegah ia menangis dengan suara lantang hingga tersedu-sedu.

"Nangis aja, Vi. Nangis sepuasnya," bisik Delon sembari mengusap punggung Viola dengan sayang. Melihat adiknya dengan kondisi memprihatinkan membuatnya tak kuasa menahan air mata.

"Viola capek, Kak," keluh Viola di sela tangisannya.

"Kamu nggak boleh capek, Vi. Masih ada Kakak yang mau bantuin kamu," hibur Delon.

"Sampai kapan?" jerit Viola.

"Sampai kamu mendapatkan apa yang kamu mau," balas Delon dengan yakin.

"Tapi Viola capek, Kak! Selama ini Vio udah berusaha, nyatanya nggak ada yang berubah dari Bang Ervan. Dia malah semakin kekeuh buat misahin Viola dan Arsen," pekik Viola frustasi.

YOU ARE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang