06. expect the unexpected

341 70 15
                                    

Bonne lecture

"Karena ga semua orang bisa mendapatkan kasih sayang seorang Ibu, Summer."

Summer langsung membeku saat itu. Dia merasa bersalah, secara tak langsung telah menyakiti hati Winter. Summer menyia-nyiakan kesempatan bersama Ibu di depan Winter yang belum pernah merasakannya. Itu jahat, Summer menyadarinya. Dia menundukkan kepala dan berkata, "Aku minta maaf."

"Jangan minta maaf sama aku."

Setelah mendengarnya, dengan sedikit keberanian Summer mengangkat kepalanya untuk melihat Winter melanjutkan kalimatnya.

"Minta maaf sama Mama," kata Winter. "Beri dia apresiasi karena telah menjadi ibu yang baik. Enggak semua orang bisa mendapatkan apa yang kamu dapatkan."

Winter bukan ngambek, bukan juga marah, tapi seperti ... bergumam? Karena nadanya begitu datar seolah tidak ada kehidupan di sana. Tapi sepertinya salah, kalimat yang di keluarkan Winter terlalu bagus untuk sebatas gumaman.

"Maaf ...." Summer merasa apa yang dikatakan Winter sepenuhnya benar. Ia merasa bersalah, maka apa yang bisa dia lakukan hanyalah meminta maaf.

"Berhenti meminta maaf dan mulailah berterimakasih. Aku tau kamu punya empati dan merasa bersalah, tapi coba ubah kebiasaan meminta maaf dengan mengapresiasi orang yang udah mau nerima kamu meski kamu salah pada mereka. Orang akan lebih merasa dihargai saat diberi apresiasi dibandingkan menerima permintaan maaf. Percayalah."

"Maa—terima kasih, Winter. Aku menyadarinya." Tundukkan kepala Summer semakin dalam, dia menggaruk ujung pangkal hidungnya.

Gerak-gerik itu terlihat ambigu. Winter mengira Summer menangis karena perilakunya. Dia pun memegang bahu Summer, merasa bersalah. "E-eh, maaf Summer, b-bukan maksud aku memarahimu. Jangan menangis, aku minta maaf."

Summer mengangkat kepalanya, memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja seraya tersenyum jail. "Katanya mengapresiasi lebih baik daripada meminta maaf?"

Winter mengusap dada, barusan, dia benar-benar panik telah membuat putri kerajaan menangis. Bisa-bisa dia dipenjara. Sekarang Winter kikuk sendiri menggaruk tengkuknya. "E-ee ... terima kasih sudah mendengarkanku, hehe. Tapi bukan berarti kita ga butuh kata 'maaf'."

"Iyaa iyaa ...." Summer manggut-manggut, kemudian merangkul pundak Winter dan mengajaknya berjalan ke ruangan Ayah yang jaraknya tidaklah jauh. Suara tawa keduanya menggema di sepanjang koridor, keduanya asik tertawa, hingga tak sadar seseorang memperhatikan mereka dari ujung koridor. Wanita itu—Vivienne—tersenyum lembut saat hatinya menghangat melihat interaksi kedua anaknya.

Itulah saat dunianya kembali bangkit.

Summer berserong, kemudian membuka pintu ruangan sang Ayah, masuk ke dalamnya. "Hai, Yah." Sapanya.

Hal pertama yang mereka lihat adalah sosok seorang pria yang terlihat gagah sedang melamun sambil menatap kota Betelgeuse yang luas via kaca jendela ruangan. Alisnya berkerut dan jarinya menopang dagu, tanda ia sedang berpikir. Awalnya ia begitu larut dengan pikirannya hingga suara Summer yang menggaung membuatnya tersadar kembali. Dia—Niall Benjamin, Ayah sekaligus Raja yang memimpin Betelgeuse—bangkit untuk menyambut  Summer yang datang memeluknya.

Niall tersenyum lembut pada anaknya hingga kerutan matanya pun ikut tersenyum. "Hai, Summer—" ucapannya terpotong saat netranya menangkap seorang gadis yang ikut masuk ke ruangannya. Gadis yang sama dengan anak di rengkuhannya.

Dahi Niall berkerut, ia melepaskan tangan Summer yang melingkar di perutnya. "Summer ... siapa dia?" tanya Niall pada Summer.

Summer mengikuti arah pandang Ayahnya yang tertuju pada Winter. "Ooh! Coba Ayah tebak, siapa dia?"

"Summer, Ayah serius."

"Iya Ayah, coba tebak aja dulu." Summer nyengir.

Membiarkan sang Ayah sibuk bertengkar dengan pikirannya sendiri. Summer pikir Ayahnya akan cepat tanggap, dan dia ingin melihat reaksi senang Ayahnya. Tapi ternyata harapannya harus kandas karena Niall terlalu lama berpikir, atau memang tidak mau berpikir. Oh ayolah, Summer ingin memberikan kejutan! Summer berusaha tetap memajang wajah senang sekaligus untuk menyadarkan Ayahnya. Namun, sepertinya sekali tidak peka, tetap tidak peka.

"Ayah ga tau siapa dia, Summer." Jawaban Niall yang benar-benar tidak mau Summer dengar. "Siapa dia?" Tangan Niall menyentuh kedua pundak Summer.

"Ih, masa Ayah ga tau sih?" rengek Summer dengan nada penuh keputusasaan. "Ini loh, Yah, wajah kita sama. Ngerti 'kan maksudku?" Gadis itu masih saja berharap, menaikkan kedua alisnya.

Padahal tidak ada hasilnya.

"Ehm ... Profesor Hudson baru saja menciptakan kloninganmu? Atau dia baru saja menemukan ramuan menggandakan?"

Baik, baik, Summer menyerah! Jadi, Summer memaklumi Ayahnya kali ini, mungkin saja dia sedang memiliki banyak beban pikiran. Summer menurunkan pundaknya dan menekuk wajah. "Bukan, Ayah. Dia ini Winter, Ayah pasti inget kan? Kan? Kan? Kan?"

Segelintir memori menyintas di kepalanya. Memori yang pahit, makanya ia cepat-cepat mengubur itu dan memulai pola pikir yang baru, seolah ia tidak mengetahui apa-apa. Summer sudah mengeluarkan semua point, sayangnya Niall hanya butuh to the point. "Winter ... ? Ayah tidak ingat siapa Winter." Niall geleng kepala.

Reaksi Summer tak jauh dari apa yang kalian pikirkan. "Hah? Astaga Ayah, dia ini Winter. Winter saudara kembarku. Winter anak Ayah ...," balasnya terus terang. Tentu dengan perasaan kesal dan sedih. " ... dan Bunda Isa."

Hahaha, lanjutan kalimat Summer sukses membuat Niall berpikir seribu kali lipat tentang apa yang dipikirkan anaknya, yang baru berumur 17 tahun.

Detik berikutnya, Summer jengkel setengah mati. Entah apa yang dipikirkan Niall Ayahnya yang malah merespon dengan gelengan kepala. Bukankah apa yang dikatakannya sudah jelas? Ayahnya ini tidak peka atau pura-pura lupa, sih? Summer ingin mengumpat, tapi ia bukanlah perempuan yang tahu caranya mengumpat, yang bisa ia lakukan adalah rungsing. "Ayaaahhh!" Dia merengek ingin menangis.

"Summer anakku, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu maksud. Coba kamu jelasin lagi maksudnya. Anakku hanya kamu seorang."

Ah, sial, Niall menyakiti Winter.

Anakku hanya kamu seorang.

Winter merasa terpojok, tentu saja dari awal ia datang. Untungnya, dia gadis yang tangguh, pendiriannya kuat. Dia tetap tersenyum seolah tak merasakan apa-apa. Tapi Summer sadar apa yang dirasakan Winter.

Tak ada yang bisa Summer lakukan, kata-kata penenang tidak ada gunanya. Maka dari itu, Summer menjelaskan semua secara gamblang mulai dari akalnya. Meski ia tidak bisa menebak seperti apa reaksi Ayah, yang penting Winter merasa tidak terpojok dan sendirian lagi.

"Ayahku, dia ini Winter saudaraku yang hilang 17 tahun lalu karena tragedi yang Ayah tutupi entah atas dasar apa. Ayah ingat, kan? 17 tahun lalu saat Bunda ninggalin Ayah, kemudian anak Ayah satu lagi hilang. Aku pernah berbicara dengan bidan yang menangani Bunda saat malahirkan, dokumentasinya menyatakan Bunda melahirkan dua bayi. Ayah ga bisa mengelak. Ayah ga lupa sama Winter kan? Ayah ga tega sama anaknya kan? Iya kan, Ayah?"

Telak, apa lagi yang kurang? Setelah mendengar penjelasan panjang lebar Summer, Niall menunduk. Kerutan dahinya menyatakan perasaan kecewa. Beberapa detik kemudian dia mengangkat kepala lagi, kemudian menatap anaknya.

"Iya ... Ayah tahu, aku ingat ...























... tapi kenapa kamu membawanya?"

To be continued!

KAPRIKORNUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang