29. take a chance at the narrow

138 39 35
                                    

Happy reading!

---

Angin malam menyapu anak rambut Winter. Winter menutup mata, khidmat menikmati syahdunya malam ini. Udara berhembus tenang, seluruh beban rasanya langsung terbang dari pundak Winter. Dua sudut bibirnya terangkat, bahagia karena masih diberi kesempatan untuk berada di bawah malam, menceritakan pada Tuhan tentang ujian yang sedang dialaminya. Winter bersyukur, setidaknya dia masih boleh merasakan ketenangan ini, meski tak setiap saat.

Biar saja ketenangan ini datang jarang-jarang, agar Winter mengerti bersyukur, agar Winter tidak menyia-nyiakannya. Karena, lagi, tidak semua orang bisa merasakan ini. Winter menghembuskan napas berat. Ngomong-ngomong, dia sedang berdiri di atas balkon, bersandar pada pagar.

Dugh!

Saat ketenangan itu berlangsung, tiba-tiba suara benturan terdengar dari bawah. Winter terkejut setengah mati, kemudian melongokkan kepala ke bawah, mengintip sumber suara benturan itu.

Tak lama kemudian, suara rintihan terdengar.

"A-akh ... tolong!"

Winter melotot saat mendengar suara itu, sepertinya seorang pria. Tunggu, hei, sedang apa seorang pria berada di sekitar balkon kamar Summer? Apakah itu adalah pelayan yang sedang membersihkan bangunan? Tapi tidak mungkin, ini larut malam. Winter semakin terkesiap menyadari jari seseorang yang berpegangan pada lantai balkon, berada di dekat kakinya.

Baru saja Winter ingin menginjaknya, berniat membuat pria itu terjatuh. Tapi kini satu tangannya lagi berpegangan—orang itu menggunakan sarung tangan berwarna hitam—kesusahan mencapai balkon Summer.

"Siapapun—tolong! Akh!" Orang itu mendesah.

Bibir Winter bergetar. "Siapa kamu!"

"Eh? Winter—syukurlah. Tolong aku, Winter!" Orang itu menyahut, masih kesulitan.

Terdiam, Winter terkejut orang itu mengetahui namanya, sekaligus merasa familier dengan suara itu. Namun ia tidak ingat. Orang ini menggunakan penutup mulut, suaranya tidak terdengar jelas.

"Winter, bantu aku, kumohon."

Winter terlalu lama berpikir, sedangkan orang itu masih menunggu untuk ditolong. Winter kembali melongokkan kepala, kali ini lebih yakin untuk melihat lebih jelas.

"Cepat, aku akan jatuh!"

"Maaf aku tidak mengenalmu!" Dia semakin gugup, menggigit kuku jari.

Saat Winter ingin pergi ke dalam dan memanggil pelayan ataupun penjaga istana, orang itu kembali berucap, membuat Winter berhenti. "Cepat. Aku bukan orang jahat, Winter. Kamu mengenalku. Aku Stefan!"

"Hah? Stefan?" Awalnya Winter ingin membeku, tapi ia tidak punya waktu, orang itu—siapapun dia, entah benar Stefan atau apalah—akan terjatuh. Winter mendekat dan memberanikan diri mengulurkan tangannya. "Pegang tanganku!"

Tanpa basa-basi lagi orang tersebut langsung menerima tangan Winter, menarik dirinya ke atas. Sedikit kesusahan. Perlahan, pria yang menggunakan pakaian hitam itu menaikkan kakinya ke lantai balkon. Kemudian berpegangan pada tiang pagar. Dan berhasil. Meskipun uluran tangan Winter tidak terlalu membantu, tapi itu tetap membantu.

"Terimakasih." Orang itu—yang ternyata Stefan—berkata terbata. Dia terkulai lemas meluruskan kaki, setelah sebelumnya membuka kain penutup yang menutupi sebagian wajah tampannya, dari batang hidung sampai dagu.

Winter menutup mulut dengan tangan, berlutut. "Astaga, maafkan aku tidak segera membantumu."

Stefan tersenyum, melupakan rasa sakit di lengannya. "Gapapa, Winter. Ini ga seberapa."

KAPRIKORNUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang