35. his sudden anger

129 34 16
                                    

Happy reading!

---

Niall mengangguk. "Tepat sasaran."

Hhh, Tepat sasaran.

Sungguh sakit hati Summer saat kehadiran orang yang disayanginya harus ditolak. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Winter yang sedang memperjuangkan antara hidup dan mati, tapi Niall merencanakan pengusirannya? Kenapa kejam sekali, kenapa?

Tidak ada lagi tatapan sarkas yang dilontarkan Summer, hanya ada tatapan kecewa disertai alis yang melengkung sedih. Mendengar keputusan ayahnya membuat Summer frutrasi. Summer mengeratkan kepalan, dia menggeleng pelan menahan air yang bertengger di ujung mata, sebelum berbalik dan pergi dari sana. Kemudian membanting pintu hingga terdengar debuman yang keras.

Raja tersebut hanya menutup mata mendengar suara bantingan pintu, sedangkan Vivienne bersiap berlari mengejar gadis kecilnya, namun Niall menahan pergerakannya.

Alis Vivienne mengkerut, meminta penjelasan.

"Jangan menyusulnya. Kita tidak bisa selamanya menuntun dia, biar dia belajar."

Terlalu keras menurut Vivienne, tapi Niall benar. Lagipula mungkin Summer membutuhkan waktu sendiri. Vivienne menghela napas, kembali duduk dan menunduk.

"Harusnya kamu tidak mengatakan itu pada Summer."

"Kenapa tidak?"

Jawaban Niall membuat Vivienne mengangkat kepala. "Kau tidak paham Summer sedang khawatir dengan keadaan Winter? Terlebih lagi Summer masih kec-"

"Dia sudah dewasa! Umurnya sudah termasuk legal!" Niall menyangkal Vivienne. "Salahku, harusnya aku tidak mendidik Summer begitu lembut. Sekarang jangan memanjakannya, Vivienne. Dia harus menjadi wanita kuat yang beretika. Bukan wanita penakut yang tak mengenal tata krama. Dia seorang putri, dia yang selanjutnya akan menjadi ratu dan memimpin negeri ini."

"Aku tahu, Niall. Aku paham, aku paham apa yang kamu harapkan pada Summer. Tapi asal kamu tahu, Summer sudah menjadi apa yang kamu inginkan. Dia tumbuh menjadi wanita kuat, pemberani, bijaksana, senang berbagi dan suka membantu. Tapi kamu tidak melihatnya. Kamu terlalu sibuk," kata Vivienne. "Summer memang cengeng, mudah menangis, tapi bukan berarti dia lemah, Niall. Dan yang tadi itu, itu bukan waktu yang tepat untuk Summer mengetahuinya. Dia masih belum bisa menerima Winter jatuh sakit begitu parah, memperjuangkan hidup dan matinya, tapi kamu berniat mengusir Winter. Summer juga menggunakan hatinya, bukan hanya logika."

Penjelasan Vivienne sudah lebih dari cukup, sayangnya melenceng dari apa yang diinginkan Niall. Mereka harusnya tidak membicarakan Summer di ruang kerjanya.

Tiba-tiba seseorang membuka pintu, dan berjalan masuk mendekati Niall, Vivienne dan Philip. Itu adalah Profesor Hudson, dia datang membawa data tentang Winter. Data inilah yang menentukan apakah Winter akan dibawa ke selatan atau tetap berada di sini.

"Permisi, Niall, Vivienne, Philip." Profesor membungkuk.

"Philip dan Profesor, silakan duduk," perintah Niall sambil mengusap air wajahnya.

Philip dan Profesor pun duduk di sofa seberang Vivienne. Mereka berdua menatap Niall.

"Bagaimana hasilnya, Profesor?"

Profesor membuka berkasnya. "Ah, ini. Winter bukan mengidap Raynaud, tapi ini adalah dampak dari racun ganas yang diberi Nephytis 17 tahun lalu pada Winter.

"Thrómvos poison?" Philip menyebut nama racun itu.

Profesor mengangguk. "Racun ini cepat menjalar ke seluruh tubuh, mereka mengikat setiap sel dalam tubuh pengidapnya. Kemudian membekukannya dengan sekejap mata. Jika Winter sudah mengisap ini, harusnya Winter sudah tidak ada sekarang. Racun Thrómvos melahap dalam rentan waktu beberapa jam. Tapi ini? Winter bertahan 2 hari. Ini sangat aneh."

"Niall, haruskah kita membawa Winter ke Alchemist?" saran Vivienne. Wanita itu sangat khawatir.

Niall menggeleng. "Tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan Winter, apapun yang terjadi, aku akan tetap membuatnya angkat kaki dari sini."

Kan, ternyata data sekalipun tidak bisa mengubah pikiran Niall. Keputusannya sudah bulat. Jika Niall bilang satu, maka akan satu. Semua akan berjalan sesuai keinginannya, Pemimpin Betelgeuse yang terkenal tegas dan bijaksana.

"Tapi Winter adalah anakmu." Peringat Philip. Suaranya terdengar dingin. Philip bukan melawan atasannya, hanya saja saat ini ia sedang menjadi rekan Niall yang akan mengingatkannya jika Niall salah.

"Winter yang sedang ada di ruangan Hudson bukan anakku. Winter Benjamin, sudah meninggal 17 tahun lalu di tangan Kaprikornus." Niall berkata tegas. "Jangan membantah itu jika kamu masih ingin kepalamu berada di tempatnya, Philip."

Dahi Philip mengkerut. "Kamu sudah kelewatan!"

"Itu lebih baik daripada kubunuh Winter di depan kalian semua!" final Niall.

Dia langsung bangkit dari duduknya saat dirasa atmosfer semakin panas, dan akan semakin buruk jika mereka tetap melanjutkannya. Philip adalah lawan debat terburuk, namun partner feedback terbaik.

***

"Winter ...," Summer mengelukan nama itu setiap jam, setiap menit, setiap lima detik sekali. Berharap sang pemilik nama mengangkat kelopak matanya.

Wajah Summer sudah basah, dan rasanya juga kaku karena air matanya sudah membeku. Dan tentu, matanya sembap, kantong matanya membesar, dan tatapannya sayu. Summer tidak pernah sesedih ini sebelumnya, Winter juga tidak pernah sesakit ini. Entah ada apa, Summer sudah 26 jam tidak bertemu Jordan, dan Summer terlihat baik-baik saja. Itu karena Winter mengalihkan dunianya.

Yang ada di pikiran Summer hanya ada Winter, Winter, Winter. Tidak ada apa-apa selain satu nama berawalan huruf W itu.

Tadi pagi, yang Summer lakukan sangat bijak. Summer bergegas memanggil Philip untuk membantu Winter, jika telat semenit saja, mungkin nyawa Winter tidak tertolong. Winter tidak bisa bernapas kala itu, suhu tubuhnya menurun drastis, dan tiba-tiba kelopak matanya tertutup, dengan setia. Sampai saat ini.

Itu mimpi buruk.

Kelopak mata Winter tidak setia tertutup kok.

Summer yang sedang duduk di sebelah bangsal yang ditempati Winter memajukan badannya, mengambil tangan Winter yang kini berwarna putih pucat, hampir seperti patung manekin. Ibu jari Summer bergerak mengusapnya.

"Maaf aku telat, Winter," katanya tersendat-sendat menahan tangisan. Summer mengusap ujung matanya yang terdapat setetes cairan bening. "Janji jangan pergi, ya? Jangan kembali ke bumi, tetap di sini aja, Winter. Jangan sakit terlalu lama, satu hari aja. Nanti aku sendiri, kesepian. Kita belum ngunjungin istana Katharina, Gysele dan Yizhou. Kita belum puas jailin Profesor dan Philip. Kita juga belum nemuin Bunda. Jangan buang-buang waktu dengan rebahan di bangsal, Winter!" Summer tak kuasa menahan air mata di akhir kalimat. Sekarang Summer benar-benar menangis, suara isak tangisnya terdengar di seantero ruangan. Terdengar pilu. Di susul gumamannya yang tak terdengar jelas. Summer benar-benar kacau.

Dia terlalu larut dalam tangisnya, hingga Summer tak sadar ada yang memperhatikannya dari ambang pintu.

Pria itu menyenderkan bahunya dan memajukan satu kakinya sambil melipat tangan di depan dada, memperhatikan interaksi Summer dan Winter dengan tatapan yang tidak bersahabat. Dia terlihat jengkel dan berulang kali membuang napas kasar, jengah melihat pemandangan di depannya.

Tanpa basa-basi lagi dia melangkah mendekati bangsal dan menarik tangan Summer dengan sarkas menuju ke luar ruangan. Tentu saja Summer marah, siapa yang seenaknya mengganggu waktunya dengan Winter, hah?!

Summer menatap orang itu nyalang dari belakang. "Siapa si-Ayah?!"

Dia terkejut saat orang itu berhasil membawanya keluar dan berbalik. Iya, itu Niall Benjamin. Sorot matanya tajam dan alisnya menekuk. Tak perlu kata-kata apapun untuk menjelaskan bahwa Niall sangat marah.

---

To be continued!

KAPRIKORNUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang