Happy reading!
---
Summer menghampiri Winter. "Ayah ngomong apa, Winter?" tanyanya antusias. Winter meresponnya dengan mengangkat kepalanya sedikit dan menggeleng pelan.
Alis Summer menyatu. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya lapar."
Mulai dari situ, Summer mulai mengetahui bahwa tidak ada yang baik-baik saja. Tadi itu kabar buruk, gelengan Winter bukan pertanda baik. Memilih mengalihkan topik, Summer kembali menyuapi Winter, karena saudaranya itu bilang dia lapar, meskipun Summer yakin Winter tidak memiliki nafsu untuk makan sama sekali.
***
Tengah malam. Winter terbangun dari tidurnya.
Atau bahkan tak pantas disebut tidur, tidurnya sama sekali tidak nyaman. Kepala Winter pusing, badannya terasa lemah, Winter pikir juga pasti adalah masalah di sini. Demi Tuhan, Winter tidak pernah jatuh sakit sebelumnya. Apa mungkin Winter belum beradaptasi?
Tapi Winter tidak butuh beradaptasi, dia menerima setiap situasi, baik ataupun buruk. Yah, Winter adalah orang yang memasrahkan hidupnya.
Kondisi Winter sore ini membaik—yeah, sebelum Niall berbicara padanya dan mengatakan,
"Winter, saya yakin kamu akan cepat sembuh, itu pasti. Dan setelah sembuh, saya harap kamu mau kembali ke rumahmu. Saya akan bersedia dengan senang hati mengantarmu. Saya tidak mau hidup saya hancur karenamu. Saya tak sabar menunggu waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, di waktu yang tepat."
"Cukup. Sudah cukup sial aku kehilangan Isabella dan anak keduaku, jangan Summer."
"Tolong menjauh dari kehidupan kami. Kehadiranmu memperburuk keadaan. Summer berani membantah padaku karena kamu, dia juga akan meninggalkan saya demi kamu. Saya yakin kamu adalah orang yang bijak. Maka, kembalilah ke tempatmu berasal, entah di mana itu, saya tidak peduli. Tapi satu, jangan usik hidupku."
Niall juga mengatakan, "Jika kamu bertanya, apakah saya menyukaimu, tentu saja jawabannya tidak. Tidak akan pernah, sampai kapanpun. Kamu hanyalah orang asing, atau awalnya aku kira percobaan Hudson yang gagal. Summer hanya terobsesi untuk mencari ibunya, bukan saudaranya, dia tidak membutuhkan itu. Dan kamu tau Isabella sudah tiada."
Winter tak bodoh untuk menyadari bahwa Niall memintanya angkat kaki, Niall tidak menyukai kehadirannya. Niall mengusirnya secara halus.
Haruskah Winter pergi sebelum Niall mengusirnya secara kasar?
Winter menggeleng, kepalanya kembali sakit. Baiklah, berhenti membicarakan itu.
Itu membuat kondisi Winter memburuk, bisa dibilang begitu. Kepala Winter semakin sakit seperti diputar-putar, kemudian dihantam oleh sesuatu yang besar dan cepat melebihi kereta api. Winter tidak banyak bicara setelahnya. Hanya memilih mengangguk atau menggeleng saat Summer berbicara padanya.
Satu-satunya cara menghindari persoalan yang lebih berat adalah dengan kembali, tapi ....
Tidak.
Pertama, Summer tidak akan suka, dia akan menolak itu mentah-mentah. Kemungkinan besar, Summer akan lebih over protective lagi padanya. Kedua, Winter bisa saja pergi diam-diam, tapi Summer akan mengamuk, nangis 7 hari penuh, dan memaksa Profesor Hudson untuk menemukannya. Itu pilihan yang buruk.
Bagaimana dengan tetap di sini? Itu juga buruk. Pertama, Winter meninggalkan kewajibannya di bumi. Kedua, Niall Benjamin. Tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan yang kedua, bukan?
Niall Benjamin, Raja itu, bagai mimpi buruk bagi Winter. Lebih buruk dari dunia yang keras. Winter sudah berkali-kali dibenci, dicaci-maki, ditolak, ditendang, dia selalu mendapat ketidakinginan, tapi ia berlagak seperti biasanya. Sudah terbiasa. Tapi kali ini lain, Winter merasa sakit hati. Dunianya seperti hancur bagai bongkahan es. Padahal Niall tidak menolaknya dengan kekerasan. Tapi entah kenapa itu justru membuat Winted tertekan.
Oke. Selesai dengan pikiran Winter. Karena itu terlalu berat untuk dipikirkan sekarang. Lebih baik Winter tidur, mau tidak mau menutup kelopak matanya. Tapi percuma, Winter insomnia. Seperti yang dibilang, kondisi Winter terlalu buruk untuk memikirkan hal-hal berat semacam itu.
Kondisinya lebih dari buruk. Badan Winter menggigil kedinginan, napas sesak, kepala pusing, lemah, dan juga kaku. Winter merasa badannya sulit digerakkan, mungkin karena badannya lemah, dan juga membeku.
Winter tidur menyamping, menyimak wajah tenang Summer yang sedang tertidur menghadapnya. Katanya, melihat orang tertidur akan membuat kita mengantuk dan ikut tertidur. Mari kita lihat.
Saat Winter merapikan anak rambut Summer dengan gerakan pelan nan lemah, tapi tiba-tiba Summer duduk terbangun dengan napas tak karuan seolah telah mengalami mimpi buruk. Summer menoleh cepat ke arah Winter, memastikan.
"Kamu yang menyentuh keningku?"
Dengan gerakan super lemah, Winter mengangguk.
"Astaga, kupikir siapa. Tanganmu dingin sekali, kayak es."
Winter hanya meresponnya dengan menarik dua sudut bibirnya, tipis. Sangat berat bahkan untuk tersenyum.
"Winter?" Summer menyipitkan mata ketika dirasa kulit Winter semakin putih. Putih pucat lebih tepatnya.
Ketika Winter tidak merespon apapun, Summer menyentuh punggung tangannya, dan Summer terkejut, dia memekik, hampir berteriak. Bagaimana tidak terkejut. Tubuh Winter dingin, kelewat dingin. Ini bukan karena suhu, kamar Summer hangat dan malam ini cerah. Lantas kenapa suhu tubuh Winter begitu dingin? Jika ini flu, maka tubuhnya akan hangat, tapi ini?
"Winter—apa yang terjadi? Ada apa dengan suhu tubuhmu? Warna kulitmu?" Summer membombardir Winter dengan banyak pertanyaan, tapi Winter hanya menatapnya, entah apa maksud tatapan itu. Kosong, tidak ada kehidupan apapun di tatapannya. "Jawab aku, Winter!"
Entah ada dorongan apa, dada Winter mendadak sesak bukan main, kepalanya seperti diterjang angin puting beliung dan diterpa badai. Dada Winter naik turun, tanda pernapasannya tidak baik-baik saja. Napasnya mulai tak karuan, Winter hanya bisa menutup mata, menikmati rasa sakit ini. Ini lebih baik dipendam, bukan? Winter pikir tak perlu membesar-besarkan kondisi tubuh yang buruk.
"W-Winter?!"
Tapi ternyata tidak, Winter seolah tak diberikan izin untuk bernapas. Kini tangan Winter menggenggam Summer, meminta pertolongan dan berharap ada kekuatan yang membantunya. Tapi nihil, Summer justru panik dan memperburuk keadaan.
"Tunggu sebentar, aku akan panggil Philip."
Untunglah, Summer tidak bodoh, dia turun dari kasur dan memanggil siapapun yang ada di istana untuk situasi darurat ini.
***
Pagi pukul 6.
Semua berkumpul di sebuah ruangan, tepatnya milik Niall. Pria itu duduk di kursi tengah, khusus untuknya. Vivienne duduk di sebelah Summer yang sesenggukan karena kabar buruk dari Winter. Sedangkan Philip berdiri di dekat Niall.
"Bagaimana dengan keputusanku, Vivienne, Summer?" Niall membuka percakapan. "Philip dan Profesor tidak setuju dengan itu. Ayah harap kalian berada di pihakku."
Vivienne mengangkat kepala, dan menggeleng pelan. "Aku tidak yakin ...."
Summer pun menatap ibu dan ayahnya bergantian. "Keputusan apa?" tanyanya diselingi isakan.
Niall memijat ujung hidung. "Ayah akan memulangkan Winter ke tempat aslinya. Entah di mana. Sebuah kejanggalan, Summer bilang Winter ditemukan di pinggir Glenconner, bukan? Tim ekspedisi ayah tidak menemukan desa atau kehidupan apapun di sana, maksudnya di luar teritori ayah. Jadi, ayah akan mengirim Winter ke bagian selatan dunia. Ada banyak panti di sana. Itu lebih baik bagi Winter."
"Maksudnya?" Berdiri, Summer yang hidungnya merah karena menangis mengerutkan kening, menatap ayahnya tajam dari atas. "Ayah ingin mengusir Winter dari sini?" katanya, sedikit lebih sarkas.
Niall mengangguk. "Tepat sasaran."
---
To be continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPRIKORNUS
Fantasía❝See you at the next eclipse, Winter❞ - KAPRIKORNUS : and the lunar eclipse *** Copyright © 2021 by tearsofirenic All rights reserved.