Happy reading!
———
"Maaf mengucapkan ini, tapi kamu sangat lamban," ucap Stefan setelah Winter menghampirinya yang sedang duduk di pegangan jembatan—memang sengaja menunggu Winter di situ.
Winter terkekeh. "Aku bahkan nggak lari, Stefan," sahut Winter, memegang pagar jembatan yang diduduki Stefan. Dan membiarkan angin malam menerpa wajah putih saljunya.
Stefan melompat turun. "Kita berlomba, kau lupa?"
"Aku belum setuju, kamu udah lari duluan," jawab Winter acuh. Lantas dengan praktis memberikan syal yang dipegangnya pada Stefan. "Angin malam kurang baik."
Stefan sempat terpana dengan sikap hangat Winter. Lubuk hatinya yang paling dalam ingin menerima syal tersebut, tapi pikirannya yang realistis menolaknya. Stefan tetap mengambil sodoran syal itu, namun bukan untuknya, melainkan untuk Winter. Ia membuka lipatan syal, kemudian melilitkannya pada leher kurus Winter dengan khusyuk. "Saya dilatih untuk menjadi kuat. Angin malam tidak akan membuat saya roboh."
"Sebelumnya terima kasih," kata Winter seraya membenarkan lilitan syal yang melorot, tak memedulikan perkataan Stefan. "Tempatnya masih jauh?"
"Tadinya saya ingin membawa kamu ke pinggir danau Glenconner, sayangnya di sana berkabut. Jadi kita akan pergi ke padang Quimbatten."
"Padang Quimbatten?"
Stefan mengangguk sekali. "Bunga-bunga bluebell baru saja mekar tadi pagi."
Winter tidak pernah menjumpai bunga bluebell, dan menurut dari apa yang dipaparkan Stefan, sepertinya padang Quimbatten dan bunga bluebell akan sangat indah. "Apa masih jauh?"
"Yeah, sepertinya kamu tidak melihat itu di belakang saya." Stefan tersenyum kalem, lantas berbalik dan berjalan membelakangi Winter. Winter bisa melihat itu—jarak jembatan dengan padang Quimbatten tidak jauh, bahkan ada di sepanjang mata memandang.
Winter membuang napas panjang ke udara. Hawa dingin menusuk tulangnya, hingga uap putih melebur menjadi satu di atas. Ini masih malam, dan Winter masih mengumpulkan nyawa, tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih seperti Stefan. Lagipula Stefan sudah di sini sejak lama.
Langkah gontai Winter mengantarkannya pada padang Quimbatten, yang berada tepat di sebelah dataran tinggi Mountbatten. Winter menghentikan langkahnya di sebelah Stefan yang memandang padang Quimbatten dengan senyum lebar. Meski senyumnya lebar, ketegasan tetap menempel pada dirinya. Lebih-lebih lagi badannya gagah bukan main. Jika saja Stefan bersekolah di satu tempat dengan perempuan, pasti semua perempuan yang ada di sana akan sengaja bertingkah manis di depannya.
"Kamu nggak kedinginan?"
"Tidak," jawab Stefan singkat. Kemudian menarik jemari Winter dan membawanya ke tempat yang tidak basah. "Di sini lebih segar."
"Di sini dingin." Winter memeluk dirinya sendiri.
Alih-alih menjawabnya, Stefan justru lagi-lagi memperlakukan tubuh Winter seperti boneka. Dia mendudukkan Winter di atas rerumputan. Kemudian duduk di sebelah Winter, memeluk lututnya. "Bener kan, langitnya cerah."
Winter mengangguk. "Iya, terima kasih."
"Oh ya, saya dengar kamu tinggal sendirian di sana?" Maksud Stefan 'di sana' adalah bumi, dimensi yang ditempati Winter sebelum berada di sini.
"Tidak sendirian. Aku memiliki ibu tiri, tapi mungkin kehadiranku hanyalah halusinasi di hidupnya. Dia selalu melakukan kekerasan padaku." Winter tersenyum miris dan menjawabnya tanpa mengalihkan kepalanya yang sedang mendongak melakukan rutinitasnya selama di Bumi; memandangi langit malam dengan waktu yang lama untuk hampir setiap hari. "Aku juga punya adik angkat, dia lucu." Ah, memang agak miris mendengarnya, tapi dunia memang sekeras itu.
Hampir lima menit Stefan terdiam sebelum akhirnya merespon Winter. "Pasti sulit. Saya mengalami kesulitan setelah bapak dan ibuku cerai. Seperti, hidup saya tidak berguna sama sekali. Saya merasa kosong, tanpa tujuan, meskipun masih memiliki ayah yang selalu menghibur dan mendukung" Stefan menoleh. "Siapa yang selama ini menghibur dan mendukungmu jika ibumu di sana menganggapmu tidak ada?"
Winter menghela napas, dengan berat hati menurunkan pandangannya pada bunga-bunga bluebell di bawah langit yang berbaris rapi dari jarak beberapa meter. Matanya menelisik tanaman tersebut. Winter menjawab, "Bulan dan malam."
"Maksudmu?"
"Bulan dan malam jawabannya. Kamu tau, aku hampir setiap hari duduk di depan jendela hanya untuk melihat bulan dan merasakan ketenangan malam. Bulan dan malam juga yang mengajarkanku bahwa hidup ini singkat dan keras. Aku banyak belajar dari relasi bulan dan bintang."
Stefan masih menatapnya dengan ekspresi tanda tanya.
Lantas Winter melanjutkan. "Semua orang tahu bulan tidak memiliki cahaya, bintang lah yang menyinarinya. Tapi banyak ucapan yang salah kaprah, menyatakan bulan bersinar paling terang, seolah-olah bintang tidak berpartisipasi dalam penerangan malam. Meski begitu bintang tak henti-hentinya menyinari bulan. Aku penasaran apakah bintang merasa lelah. Itu seperti—bintang yang berjuang, tapi bulanlah yang bersinar. Tidak adil, bukan? Dari situlah aku belajar bahwa terkadang semesta bisa saja tidak adil. Dan aku pernah berpikir bahwa akan ada saatnya bintang memperlihatkan sinarnya sendiri."
Nada bicaranya terdengar pelan, entah memang Winter setenang ini dalam bertindak atau Stefan hanya belum terbiasa melihat Winter yang notabene memiliki wajah identik dengan Summer yang banyak tingkah dan banyak omong. Melihat Winter yang kalem dan tenang membuatnya harus berpikir dua kali saat ingin berbicara, Stefan khawatir jika sifat tak acuhnya akan menyakiti Winter. Sejak Summer membawa Winter ke sini, Stefan sudah berprinsip untuk bersikap lebih lembut kepada Winter.
Dia berdeham sejenak. "Saya tak bisa menjamin ini bukan waktunya bintang untuk bersinar, saya bukan Tuhan. Tapi saya kurang setuju dengan opinimu. Menurut saya, bulan hanyalah kurir yang mengantarkan cahaya bintang yang tidak bisa bintang antarkan untuk manusia. Karena bintang harus jauh dari dunia."
"Kenapa bintang harus jauh?" tanya Winter polos, pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Stefan yang mendengarnya langsung menoleh. "Kamu ingin tata Surya kita berantakan?!"
Winter mengerjap beberapa kali, bahkan ia tak sadar sudah meloloskan pertanyaan retoris itu. Dia pun tertawa dengan rona merah di pipinya. Menertawakan dirinya sendiri. Stefan pun ikut terkekeh melihatnya, sekaligus merasa tenang.
Entah mereka saling menyadarinya atau tidak, tapi Winter merasa aman di dekat Stefan, dan Stefan merasa senang di dekat Winter. Banyak orang yang membuat kritikan tentang relasi persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang kini keduanya rasakan, banyak yang kontra dan beralasan bahwa relasi itu salah kaprah, tidak ada hubungan itu, pasti asa perasaan di baliknya. Tapi entahlah, meski Stefan dan Winter kini berteman, perasaan campur aduk itu ada, konkrit.
Akan ada terlalu banyak narasi, deskripsi, dan dialog jika menjelaskan secara rinci tentang apa saja yang keduanya bahas dan curahkan. Tapi hal yang pasti, di bawah langit dan sinar malam yang temaram, Winter dan Stefan duduk bersampingan di Padang Quimbatten, mendongakkan kepala untuk melihat binar yang dipancarkan bulan. Membahas hal-hal kecil, berbagi opini, berbagi humor, berbagi pengalaman, atau bahkan tidak membahas apa-apapun mereka akan saling menularkan tawa—yeah, meski selera humor keduanya benar-benar jelek. Terdengar cukup canggung, Stefan yang kaku dan Winter yang kalem.
Malam itu, bulan dan bunga bluebell telah menjadi saksi bisu atas perasaan lega dan bebas yang dirasakan Winter, terlepas dari seberapa perih luka yang ia dapat di Bumi.
———To be continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPRIKORNUS
Fantasy❝See you at the next eclipse, Winter❞ - KAPRIKORNUS : and the lunar eclipse *** Copyright © 2021 by tearsofirenic All rights reserved.