08. the illogical paradox

291 59 14
                                    

Happy reading!

"Iya ... Ayah tahu, aku ingat ... tapi kenapa kamu membawanya?"

"Hah?! Maksudnya, Ayah? Ayah secara ga langsung tidak mengharapkan keberadaan anak Ayah loh. Ayah serius? Selama ini, Ayah menyambut tamu Ayah dengan baik. Tapi kenapa engga dengan Winter, anak Ayah sendiri? Aku sebagai anak Ayah juga tersinggung, Ayah ...."

"Summer, bukan begitu maksud Ayah. Tapi-ah, bagaimana cara menjelaskannya. Apa kamu masih kesepian? Sayang, ada Ayah di sini, ada Mama, jika kamu butuh-"

"Aku ingin di peluk ibu kandungku, sekali saja."

Niall tidak pernah terpikirkan apa yang telah terjadi belakangan ini. Ia tidak pernah memberi tahu Summer tentang Isabella dan Winter. Belasan tahun lalu, setelah dirinya bangkit dari keterpurukan karena kehilangan Isabella, dia mengabarkan gugurnya sang istri dan anaknya yang kedua pada khalayak rakyat Betelgeuse dengan berat hati. Ia tidak tahu kisahnya dengan Isa akan sesingkat ini, ia tidak tahu apa yang salah saat itu, dan apa yang membuat Kaprikornus menggugurkan belahan jiwanya. Niall hanya bertanya, kenapa tidak dirinya saja? Yang sebenarnya hanyalah pertanyaan retoris.

Isabella dan Winter ambruk karena Kaprikornus. Niall sendiri yang melihat dengan mata dan kepalanya. Tapi sekarang? Tiba-tiba anaknya datang bersama Winter saat dirinya sedang memikirkan sesuatu. Persoalan tentang Winter terus meneror benaknya sejak malam. Apa Winter sebenarnya masih hidup? Kemudian dirawat oleh rakyat? Uh, rasanya sangat tidak logis. Tapi yang pertama masih diam di tempatnya. Satu kalimat keluar dari mulut Niall. "Hudson pasti menghidupkannya."

Setelah yakin dengan perkataannya, Niall berbelok saat tikungan, berjalan dengan tempo cepat menuju tempat tujuannya. Untuk mempertanyakan tentang itu pada satu-satunya orang yang menentang kesahihan atas wafatnya Isabella dan Winter.

Salah satu orang kepercayaannya yang sering mengalami perbedaan pendapat. Profesor Hudson.

Terdengar suara deritan saat Niall mendorong pintu. Niall menaikkan pandangannya yang menatap seantero ruangan Hudson.

"Stefan?"

Spontan Niall menyebut nama Stefan, anak dari pemilik ruangan ini. Suara Niall mengalihkan atensi Stefan. mengangkat kepalanya. "Tuan Niall?" kata Stefan, berjalan mendekati Niall di ambang pintu. Kemudian menunduk. Niall dan Stefan cukup dekat, itu sebabnya Stefan tidak memanggil Niall dengan sebutan "Raja".

"Ooo, sedang membaca buku?"

"Ah, iya."

"Lama tidak bertemu, kamu semakin tampan." Niall mengangkat kedua sudut bibir saat memperhatikan wajah Stefan yang rupawan.

Stefan tertawa canggung, menggaruk tengkuknya. "Anda juga semakin tampan."

Mendengar itu, Niall terkekeh. "Hei anak muda, jangan takut untuk menyebutku tua. Aku tau kamu melihat rambut putih yang menyilaukan selain mahkota." Kata Niall, menepuk lengan Stefan.

"Eeuu ... aku tidak berbohong. Anda memang tampan."

"Baiklah-baiklah, aku tau kamu tau," tukasnya. "Ngomong-ngomong, aku kesini mencari Ayahmu. Tapi aku tidak melihat kacamatanya di sini."

Dengan polosnya Stefan berjalan mencari kacamata sang Ayah yang biasanya terletak di batang hidung pemiliknya. "Ehm ... itu sepertinya tidak ada di sini.

Jujur saja, melihat apa yang dilakukan Stefan membuatnya tertawa. "Bukan. Bukan itu maksudku," Niall masih cekikikan. "Maksudku, Ayahmu itu identik dengan kacamata tebalnya. Berarti, dimana ada kacamata tebal, disitu ada Hudson. Itu istilah buatanku."

KAPRIKORNUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang