10

281 62 18
                                    

.

.

.

Sampai dua hari berlalu, baik Ali maupun Illyana tidak berinisiatif untuk mengurus perkara kasus mereka lebih lanjut. Bagi gadis itu sendiri, telah berikrar secara tidak langsung kalau ia akan berhenti mengurus urusan seperti ini. Lagipula, kenapa ia baru sadar kalau dia sebenarnya Cuma korban bullying. Mana ada korban ikut kena hukuman?

Bodoh! rutuknya dalam hati. Kenapa juga kemarin dia mau-mau aja menerima hukuman ini?

Pokoknya hari ini ia harus protes terkait putusan kemarin. Kalau rencananya berhasil, biarlah sekali-kali dia balas dendam pada cowok itu. Dia tidak peduli kalau Aliandra akan repot menangani hukumannya sendirian. Toh, memang sudah seharusnya begitu.

Hari ini seperti Dewi Fortuna sedang berpihak penuh padanya. Ke empat biang onar itu tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Kelas terasa lebih damai karena ketidak adaan mereka. Dan Illyana tak perlu repot-repot memikirkan cara untuk membujuk Aliandra agar mau diajak bernegosiasi.

Tapi, kenapa mereka bolos?

Bodo amat, ah! Ngapain nyari mereka yang bisanya ngancurin mood orang! Dewi batin Illyana meneriakinya dan memaksa agar tidak lagi memikirkan soal keabsenan mereka di kelas. Biar, sehari saja XI IPA 2 menjadi kelas yang sewajarnya.

"The Four gak masuk, Ly." singgung Putri tiba-tiba. Ya ampun! Baru aja lupa!

"Ya terus?" Illyana membalas dengan cuek. "Kata anak-anak, mereka lagi nongkrong di base camp mereka." kata Putri dengan nada pelan. Iya, dari tadi mereka ngobrol padahal guru sedang menerangkan materi hari ini.

"Terus kenapa? Kamu mau ikut? Kalau tau di mana tempatnya, ya sana." Mendengar respon Illyana yang masih tidak terlalu peduli, Putri berdecak pelan. "Eh, ngomong-ngomong luka yang kemarin itu gara-gara Ali ya?"

Gerakan menulis Illyana berhenti saat sadar topik ini yang jadi bahasan. Ini yang dari kemarin menghantuinya dan sempat terlupakan. "Iya." jawabnya dengan jujur. Lagipula tak ada gunanya dia berbohong. Beritanya sudah menyebar dan sempat menggegerkan satu sekolah.

"Yang bikin aku bingung tuh kejadiannya kan udah sore pas di sekolah udah gak rame. Waktu aku ribut sama dia juga udah sepi banget di sekolah. Tapi kok bisa ada yang lapor ya?" Dahi Illyana berkerut dan ekspresinya serius memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dari kemarin berseliweran di pikirannya.

"Loh, bukan kamu yang lapor?" tanya Putri kaget. Gadis di depannya menjawab dengan gelengan cepat. "Bukan. Bukan aku." bantahnya langsung. "Sebenarnya aku gak ambil pusing soal kejadian itu. Tadinya aku pikir itu cuma kecelakaan, tapi ternyata itu ulahnya dia. Padahal ya, dari kemarin aku udah putusin buat gak mau terlibat urusan aneh-aneh sama dia. Kamu tahu sendiri kan, sekalinya kita ada urusan malah berakhir di konseling lagi, konseling lagi."

Putri tak menanggapi banyak. Dia hanya menampilkan ekspresi bersimpati kepada kawan sebangkunya itu. "Mungkin bu Nadia tahu karena ada rekaman CCTV di depan kali."

Lalu percakapan singkat itu berakhir menggantung. Beriring dengan bunyi bel yang nyaring di speaker pengumuman yang menandakan jam pelajaran ke-lima baru saja berakhir. Dan sisa-sisa jam berlalu dengan baik tanpa halangan.

***

Fakta bahwa the Four sering membolos berlarut-larut tanpa keterangan sebenarnya bukan hal aneh lagi bagi orang-orang mengingat reputasi buruk mereka seterkenal visualnya. Bagi Illyana sendiri—yang baru mengetahui itu—sebetulnya sangat menyayangkan kejadian seperti ini. Pihak-pihak seperti the Four ini, begitu menyepelekan kesempatan menuntut ilmu yang tak sedikit orang bisa mendapatkannya. Di luar sana, bisa menempuh pendidikan hingga ke jenjang setinggi-tingginya merupakan kemewahan tersendiri. Tak terhitung berapa peluh, tenaga, hingga materi yang keluar agar seorang anak mendapat pengajaran yang layak di bangku sekolah. Dan mereka yang mendapatkannya dengan mudah malah menyia-nyiakan kesempatan ini. Sungguh luar biasa keseimbangan alam di dunia ini.

COLD BAD BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang