3

340 79 10
                                    

***

"Woi lempar woi! Oper sini kek, elah!"

"Bac*t! Rebut kalo bisa!"

"Hilih! Gaya lo, Mbing, Mbing. Makan sehari tiga kali pake rumput aja songong!"

"K*mpret! Apa lo bilang?"

Bug

"Ah, b*ngke! Pantat gue, sakit cuk!"

"HAHA! MAMPUS LO!"

Illyana menghela napas sebal. Ah, keramaian kelas ini betulan membuatnya pusing. Padahal di kelas lain pelajaran sudah dimulai. Sedangkan XI IPA 2? Nihil!

Bukan masalah guru yang absen. Beliau ada, tapi tidak bisa masuk. Bagaimana mau masuk kalau pintu kelas saja dikunci dari dalam? Pak Dodi—guru bahasa—yang akan mengajar hanya bisa kembali ke ruang guru dengan pasrah. Beliau menyerah kendati telah meneriaki anak-anak bebal yang sudah menghalangi KBM dengan seenak jidat. Empat anak yang sekarang tengah bermain bola sepak di dalam ruangan.

Illyana meringis, takut-takut menatap ke arah bola yang melayang ke sana-ke mari. Meski terbuat dari plastik, dengan cat belang warna merah putih tak mengurangi kengeriannya saat membayangkan kalau ia bakal terkena tendangan salah sasaran mereka. Aduh, pasti sakit sekali.

Mungkin kalau ia tidak malu, Illyana akan segera bersembunyi di bawah meja. Karena permainan ini mengingatkannya ke masa sekolah dasar dulu. Ah! Anak degil kok mainnya kayak bocah SD?!

.
.

"Woi, Nana! Oper sini! Jangan dibekep mulu! Cari cewek aja sana! Bola kok dipeluk-peluk! Ngenes." Ornald—si Kuncir Satu kloningannya Upin—mendelik tak terima. Dia melempar bola itu keras-keras yang langsung ditangkap dengan baik oleh sasarannya.

"Eits! Santai Bos! Gue cinta damai." sahut si Reynand—cowok berambut gondrong—dengan cengiran tengil yang belum hilang. Well, kalau urusan menjahili orang, si cowok ini bakal maju hingga membuat tensi darah targetnya naik drastis.

"Ck! Buru lempar ih! Gue tonjok juga nih anak." Ornald kembali bersungut. Urat-uratnya langsung kelihatan menonjol begitu dia meninggikan nada bicaranya.

Begitu saja permainan beralih nama dan aturan. Dari bola sepak jadi voli abal-abal. Lempar sana-sini dan membuat sekelas heboh. Para perempuan menjerit, takut terkena lemparan dan laki-laki malah bersorak kegirangan.

"Huhu.. Pengen marah, tapi ke siapa?" Putri merengek sambil membenamkan wajah ke dalam lipatan tangannya. Illyana mendesah pelan. "Ke luar aja yuk. Ikut aku ke kamar mandi." ajaknya pada Putri yang sekarang mengangkat kepala dengan mata penuh binar. "Ayo!" Tapi gadis itu buru-buru menahan Illyana yang hendak beranjak. "Kamu yang bilang ke anak-anak itu ya." katanya dengan senyum cengengesan.

Illyana berdecak sekali. Dia memilih mengangguk dan lekas berjalan ke pintu kelas. Tak ada yang menjaga, padahal kunci pintu menggantung diabaikan. Sayangnya begitu ia akan meraihnya, kunci pintu kelas sudah lebih dulu digapai oleh Ornald. "Ngapain keluar? Mau ngelapor?!" tanyanya dengan nada sengit.

Dahi Illyana berkerut. Dia menghela napas kesal, "aku mau ke kamar mandi. Mau ikut?"

Pria itu mendelik tak terima. Terlebih saat tak sengaja ia mendapati sebagian besar anak cekikikan, menertawakannya. "Ogah! Sono cepet keluar!" sentaknya cepat. Yang direspon Illyana dengan kernyitan tak suka. Bisa santai dikit gak sih? Ini anak kerjaannya tarik urat mulu.

Begitu Illyana dan Putri melangkah keluar, Orland berteriak lagi. "Heh, boncel! Jangan laporin kelas kita ke guru! Awas lo kalo berani!"

"Iya, Upin!" sahut gadis itu tanpa menatap ke arahnya. Sekali lagi Ornald mendelik sebal. Tak tanggung-tanggung dia memukul dinding sebelah pintu ketika satu-dua anak mulai berani terang-terangan menertawakannya. "Awas aja lo." desisnya menatap kepergian Illyana tak suka.

COLD BAD BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang