5

290 65 5
                                    

.
.
.
Illyana jarang terlibat kasus di sekolah. Dia masih termasuk kategori murid beretika baik dan gak neko-neko. Makanya bu Nadia menyambutnya dengan senyum menenangkan, seolah bilang; everything is alright. Yang membuat beban kecemasan di benak gadis itu sedikit meluap.

Stereotip murid mengenai ruang konseling sangkarnya anak-anak bermasalah itu tidaklah benar. Namun banyak kabar burung mengenai hal minus terkait konseling yang membuat murid-murid ketakutan. Siapapun yang telah terdaftar sebagai pengunjung ruangan dinyatakan bermasalah dan bukan anak baik-baik. Inilah alasan kenapa Illyana duduk dengan gelisah di hadapan bu Nadia bersama dengan Ali dan Gadis yang ia lihat sewaktu di gudang.

Satu-satunya yang bersikap santai di sini adalah Ali. Mungkin karena lelaki itu sudah menjadi langganan konseling terkait kasus-kasus miring yang dibuatnya, makanya ruangan yang diisi oleh para guru yang rata-rata bertitel S. Psi, ini dianggapnya biasa saja. Tidak menakutkan. Berbanding terbalik dengan Gadis Korban Pelecehan—oke, ini panggilan Illyana berdasarkan alasan subjektifnya soal kasus barunya Ali—yang malah sedari awal Illyana lihat terus-terusan menunduk dan memilin jari. Sama gelisahnya dengan dia.

"Baik, karena kalian sudah berkumpul di sini, Ibu akan langsung mulai pembicaraan ya." bu Nadia sekali lagi tersenyum dan menatap tiga murid di depannya bergantian. "Sebelumnya, kalian bisa lebih santai ya? Diminum aja tehnya biar gak gugup, jangan malu-malu."

Tiga cangkir teh hangat sudah tersaji di hadapan mereka. Lagi-lagi hanya Ali yang langsung menyambut baik penawaran bu Nadia. Cowok itu tak berniat menawarkan balik pada teman-temannya. Dia meminum habis isi cangkir dan meletakkannya dengan santai. Bu Nadia tersenyum lagi. Beralih pada dua gadis yang sedari tadi bergeming lengkap dengan wajah bingungnya. Sebelum beliau menawarkan sekali lagi, Illyana sudah lebih dulu meraih cangkir dan menyeruput teh secukupnya. Setidaknya ini mengurangi kegugupannya.

"Ara, minum dulu, Nak. Mumpung masih hangat." Gadis di samping Illyana bergerak meraih cangkir dan mengikuti instruksi dari bu Nadia. Setelahnya ada jeda yang cukup bagi Illyana dan dua temannya untuk memperbaiki suasana hati. Baru bu Nadia memulai pembicaraan pentingnya.

"Jadi, maaf karena ibu memanggil kalian saat KBM. Kalau nanti tertinggal materi beberapa jam nggak papa, yah? Kalian bisa kejar ketertinggalan dengan tanya ke teman. Tapi nanti ya.

Ibu dapat laporan kalau ada masalah antara Aliandra dan Arasyi, ada rumor yang bilang waktu hari Rabu minggu lalu Aliandra melakukan tindakan pelecehan sama Arasyi di gudang penyimpanan alat olah raga. Ibu mau minta konfirmasi kalian dan Illyana selaku saksi mata kejadian."

Illyana meneguk ludahnya susah payah. Gadis itu tahu lewat sudut matanya, Ali sedang menatapnya tajam. Dia jelas berani menuduhnya sebagai pelapor karena embel-embel saksi kejadian yang dibilang bu Nadia.

"Ada yang melapor, tapi bukan kalian. Ibu rahasiakan identitasnya sesuai prosedur ya. Ali?" bu Nadia melanjutkan. Beliau mengakhiri dengan tatapan memperingati kepada satu-satunya cowok di bilik konseling. Seperti paham bahwa Aliandra hendak protes, bu Nadia menginterupsi. "Illyana, silakan bercerita kejadian yang udah kamu lihat kemarin."

Gadis yang disebut namanya segera bercerita dengan singkat dan jelas. Dia fokus pada bu Nadia dan penjelasannya tanpa peduli dengan dua orang di dekatnya. Setelah menceritakan kejadian versinya, Illyana baru bisa menghela napas lega. Yang artinya, urusannya sudah selesai sampai di sini. "Terima kasih, Illyana. Kamu bisa balik ke kelas lebih dulu." bu Nadia tersenyum lagi padanya.

Yah, setidaknya Illyana lega. Pendapat orang-orang yang sempat membuat Illyana percaya ternyata tidak terjadi padanya. Hanya stereotipnya yang menyeramkan, bukan dengan guru-gurunya.

Dia segera undur diri. Berjalan cepat menuju kelasnya dengan perasaan lega. Dia tidak perlu ketakutan atau menghindar seolah jadi buronan di hadapan Ali.

COLD BAD BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang