'hiduplah berdasarkan kenyataan, jangan berdasarkan rumor'
Seperti kehidupan pada umumnya, aku terjebak dalam situasi dan kondisi dimana pendapat dan pandangan orang lain adalah hal yang paling utama.
Mereka atau ... Aku, mungkin. Terjebak dalam kon...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
'Sepasang yang hilang'
🥀
~just a freedom, but you seem hungry~
*
Mobil hitam mewah itu perlahan meninggalkan bandara internasional setelah mengangkut penumpangnya. Ia membela jalan ibu kota yang masih saja ramai padahal jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Cahaya dari pertokoan dan lampu jalan membuat sekitar benar-benar masih hidup. Seakan tidak ada kata lelah untuk para penghuni ibu kota, ataukah mereka benar-benar sudah tenggelam oleh godaan tempat ini.
Spanduk yang di letakkan di dekat jembatan layang memperlihatkan seorang pria dengan jas biru tua. Ia tersenyum lebar sembari menggenggam barang yang sedang ia pasarkan. Seseorang yang di balut Hoodie hitam di sana menatap spanduk hingga hilang dari pandangannya. Perempuan bergaun senanda dengan warna Hoodie-nya terkekeh geli. Meletakkan tablet seharga langit itu di atas pangkuan sembari mengamati gerak-gerik orang di sampingnya ini.
"Kau sungguh mudah di tebak." Ia berkomentar santai, memperlihatkan ekspresi wajah jahilnya. "Kurangi kebiasaan buruk mu itu."
"Aku tahu. Berhenti menasehati ku." Sungguh ia kesal kenapa perempuan di sebelahnya ini begitu menyebalkan. Dan yang paling membuat kesal ia tidak bisa membantah cemoohan-nya.
"Hahaha, itu lucu." Ia menghela napas, meraih tablet-nya lagi lalu mulai fokus pada gambar-gambar yang di kirim sekertaris Daddy-nya.
Madya Gabriella Anan, nama yang tertulis dengan coretan tinta emas itu tercetak dengan indah pada kertas selembar yang tergeletak di atas job mobil saat sang pemilik keluar dari dalam mobil. Ia kemudian menunduk kepada seseorang yang ada di sana tanpa mengatakan apapun. Kembali membenarkan posisinya lalu mulai melangkah masuk ke dalam rumah mewah yang begitu besar. Beberapa pelayan berjajar di sepanjang pintu masuk untuk menyambutnya. Di sana kedua orang tuanya menyambut dengan senyum yang merekah. Menghela napa ia mendekat lalu memeluk keduanya bergantian.
"Apa si gila itu tidak ikut menyambut ku?" Madya menghembus napas kesal saat melihat gelengan dari sang Mommy. Mengibaskan tangan saat pelayan mengambil tas selempang kecilnya.
"Seperti biasa putri mommy masih saja cantik." Margaretha— Mommy Madya memuji berlebihan putrinya setelah duduk di kursi ruang tamu. Wanita kebangsaan Kanada itu masih belum fasih berbahasa Indonesia.
Madya memutar bola mata malas. Ia mengecup pipi wanita itu lalu mulai melangkah menuju kamarnya. Ia lelah setelah perjalanan jauh dari Kanada. Bahkan ia merasa kulit bokongnya hampir melepuh karena harus duduk cukup lama di dalam pesawat. Matanya yang berwarna gelap seperti sang Daddy mengamati penjuru kamarnya yang masih sama seperti enam tahun lalu. Walaupun lahir di negara lain tapi ia besar dan menghabiskan waktu di negara ini. Ia baru pindah ke Kanada saat lulus di bangku sekolah dasar, itu pun atas paksaan orang tua Mommy-nya yang tidak bisa jauh dari sang cucu.
"Melelahkan," komentarnya sebelum memejamkan mata tanpa harus repot-repot mengganti baju.
🥀
Suara kunci yang di putar dua kali tidak mengusik perempuan yang tidur di sana. Suara langkahnya mendominasi tempat sunyi itu. Sosok bergaun merah itu berdiri di hadapan kasur, dengan tangan yang menggenggam kunci Inggris berukuran besar. Suasana yang gelap membuat wajahnya tidak terlihat hanya gaunnya yang terlihat mencolok di kegelapan. Ia mendekatkan tepat di samping kepala perempuan yang masih terlelap itu, mengangkat tinggi kunci Inggrisnya, lalu mulai menjatuhkan dengan keras.
Benda itu berhenti tepat pada jarak lima senti dari wajah perempuan itu. Kelopak matanya berkilat takkala cahaya menyinari dari celah ventilasi. Benda yang hampir menghantam kepalanya itu masih menggantung di sana. Keringat membasahi wajahnya, ia melirik melalui ekor mata seseorang itu. Bergerak cepat ia mendorong kunci Inggris itu dengan cepat lalu mulai berlari kearah pintu. Sekuat tenaga ingin membukanya, Karin— perempuan itu semakin kesetanan saat pintu tidak kunjung terbuka. berteriak frustasi saat melihat perempuan itu mendekat dengan langkah perlahan. Ia berlari kearah kamar mandi masuk ke dalam lalu menguncinya dengan kesetanan.
"Siapa orang itu, sial ponselku di luar." Karin berteriak frustasi. Ia hanya bisa meringkuk di dalam bathtub dengan gemetar.
Ini mimpi buruk. Ia menerka-nerka kesalahan apa yang telah ia lakukan hingga membuat nyawanya terancam seperti ini. Ia memikirkan segala cara agar bisa selamat, ataukah menunggu hingga pagi lalu mengatakan semua ini pada sang ibu. Tapi suara ganggang pintu yang berusaha di buka dengan terburu-buru membuatnya semakin ketakutan. Ia menunggu lama, hingga suara pintu di tutup terdengar dari luar. Menghela napas ia mulai merebahkan dirinya, memeluk tubuh semok-nya dengan pikiran yang masih cemas.
"Aku tidak ingin mengambil resiko, siapapun perempuan itu lebih baik aku menunggu di sini." Karin bergumam. Mencari posisi nyaman lalu mulai memejamkan mata.
🥀
Tring! Tring! Tring!
Alarm berbunyi di sepanjang gedung luas itu. Seorang perempuan dengan seragam hitam putihnya berdiri sembari menatap satu ruang yang memiliki pintu ganda. Rambut sebahunya di tata dengan rapi. Orang-orang dari sisi kiri dan kanan berlari ke arah yang sama. Mereka tidak mempedulikan perempuan itu dan lebih memilih menyelamatkan diri. Bahkan mereka saling menginjak satu sama lain, karena salah langkah hingga membuat mereka terjatuh. Alarm kebakaran masih terus berbunyi. Bahkan kini air keluar dari plafon. Membasahi tubuh kecil yang masih sibuk menatap pintu ganda itu.
Suasana seketika sunyi tanpa adanya teriakan ketakutan, yang tersisa hanyalah tetes air yang membentur lantai putih itu. Seorang pria muncul dari salah satu pintu di koridor bagian selatan. Ia terdiam di tempatnya sembari mengamati perempuan itu dari sisi samping. Tubuhnya tidak jauh berbeda dengan perempuan itu lembap. Menghela napas saat pemadam darurat itu berhenti mengeluarkan air. Mengusap wajahnya lalu mulai kembali menatap perempuan di sana. Ia tersentak saat mata mereka bertemu, senyum seringai yang menghiasi wajah cantiknya membuat lelaki itu mengerutkan kening aneh.
Menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara. Tapi anehnya ia malah tahu apa yang perempuan itu katakan. Belum sempat bertanya perempuan itu sudah hilang dari tempatnya berdiri tadi. Hanya dalam sekali kedipan mata perempuan itu hilang tanpa menyisakan apapun.
"Semua akan berakhir... Tunggu saja. Apa maksudnya berkata seperti itu?" Ia heran bahkan sang heran. Memikirkan perkataan perempuan itu yang mengerikan di satu waktu membuatnya sakit kepala. "Apakah ia memiliki rencana menghancurkan dunia?" Ia menggeleng, merutuki pikirannya yang terlalu melenceng.
Sedangkan di tempat lain masih area sekolah perempuan itu melangkah dengan penuh keanggunan. Mengusap rambutnya yang lembap, tidak lupa melempar almamater hitam yang membungkus tubuhnya dengan indah ke sembarang arah. Ia tertawa terbahak-bahak, seakan menemukan harta karung di suatu tempat. Bahkan suara tawanya menggema di tempat kosong itu.
"Hahaha, semua ini... semua ini benar-benar membuat gila. Hahaha, aku bergetar karena sangat bahagia. Hahaha!" Ia terus tertawa dengan kencang. Membuka pagar dengan lebar lalu meninggalkan tempat sunyi yang hanya di huni oleh seorang lelaki.