14 TAHAP TIGA BELAS

50 9 0
                                    

"si manis yang sadis"

TAHAP TIGA BELAS

Setelah menemui Travelio Steve menyerahkannya ke para pelayan dan meminta izin kepada pihak Raven untuk mengizinkan Travelio tinggal sementara di sini sampai keadaannya juga lumayan memungkinkan. Pastinya ada pihak yang tidak suka dari keluarga Raven karena Travelio membawa nama Eaglebird sampai ke rumah mereka, namun apa yang bisa mereka lakukan jika raja tertinggi mereka sudah meminta izin? Yang pastinya mereka hanya bisa mengatakan, "ya tentu saja kami izinkan."

Jika membicarakan tentang keadaan, hari ini Steve ingin menjenguk Clara yang masih belum sadar dari setelah penyerangan tersebut. Setiap langkahnya menuju kamarnya membuat hati Steve berdegup kencang. Tangannya yang memegang satu buket bunga Ambrose bergetar dengan pelan. Bagaimana jika Clara tidak bisa selamat kali ini?

Knop pintu kamarnya di buka dengan pelan-pelan oleh Steve. Kepalanya menunduk dan matanya melihat dasar lantai. Tidak, ia tidak bisa melihat Clara yang semakin hari semakin pucat bagaikan susu. Hatinya bagaikan di timpa dengan beton dalam sekejap seperti tertekan. Batinnya menolak saat pikirannya meminta Steve untuk mendongakkan kepalanya ke arah Clara dan menelan kenyataan bahwa teman baiknya sedang berada di ambang hidup dan mati.

Baiklah, sekarang apa yang akan ia lakukan?

Ia menaruh bunga Ambrose tersebut meja samping dan menempatkan tubuhnya di sisi kasur Clara. Tentu saja semuanya membutuhkan nyali yang besar untuk dirinya melakukan hal ini. Bukan dramatis, namun apa yang Steve rasakan memang benar adanya.

Steve merasa dirinya sudah berada di titik terlemahnya, melihat Clara yang seperti sudah di depan ajalnya dan hanya menunggu waktu untuk dirinya di ambil. Steve yang mungkin selama ini di didik untuk tetap tegar akan selalu gagal jika melihat salah satu wanita yang ia cintai seperti ini.

Steve menyukai Clara? Dari sejak pertama mereka bertemu di hutan Steve sudah memberikan hatinya kepada Clara. Entahlah jika memang semua itu sudah terlihat sejak awal atau bagaimana karena selama ini Steve selalu menyembunyikan perasaannya kepada Clara.

Tangan Steve perlahan meraih tangan Clara yang sangat putih. Tidak, semua ini bukanlah tujuannya dari awal karena tujuannya datang kesini hanya menjenguk Clara dengan satu buket bunga Ambrose dan duduk di samping ranjangnya lalu melihat setiap sudut ruangan sampai bosan setelah itu pergi dengan jutaan rasa bersalah. Itu tujuan awalnya, namun semuanya berubah saat tangannya dengan spontan meraih tangan Clara.

Tangannya disentuh dengan halus oleh Steve dan Steve sempat membatin, "jadi ini tangan petarung dengan strategi terbaik?" Mungkin itu adalah suatu kebanggaan pada diri Steve bahwa Steve bisa memegang tangan Clara dengan dekat yang selama ini hanya bisa di sentuh dengannya dengan durasi yang sebentar, sekarang ia bisa menatap tangannya dengan lama dan juga merasakan aliran kekuatan Clara yang masih berjuang untuk membangunkan majikannya.

Tatapan Steve beralih ke wajah Clara, tidak usah di jelaskan lagi bagaimana keadaan wajahnya, semuanya putih bahkan tidak ada satu rona merah yang tersisa. Sekarang tidak ada yang bisa Steve lakukan jika bukan lagi menangis. Air matanya turun dengan deras, mungkin desakannya bisa terdengar hingga luar. Dengan perlahan kepalanya ambruk di atas perut Clara lalu menangis di sana. Tangannya masih memegang tangan Clara dan tangisannya melebar luas hingga terkena tubuh wanita itu.

"Maafkan aku," katanya dengan nada yang lemas.

Semua itu terasa sangat lama untuk Steve, ia tidak mau bangun dari pelukannya namun waktu harus terus berjalan dan banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Ia lepas perlahan tubuh Clara dan memutuskan untuk bangkit kembali. Ia menghapus air matanya dengan cepat dan berusaha untuk bangun dari sisi ranjang, namun semua itu tertahan dengan cepat saat ia melihat sebuah abu emas yang melayang dari tubuh Clara yang ia peluk tadi.

The History of The Dark PhoenixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang