Irene pov
Aku melihatnya menerima telpon yang memang dari kantor, bukan dari Jennie calon istrinya.
Kunci mobil ada diatas nakas, aku ingin mengambilnya tapi bagaimana nanti dengannya. Ku buka ponsel dan mengabari Brent untuk menjemputku
di hotel.Seulgi langsung mengambil ponsel ku dan menghapus pesan yang belum ku kirim.
"Mau kemana?? Kontraktor nya saja kita belum bisa bertemu hari ini."
"Aku hanya ingin menemui anak-anak dan untuk pekerjaan kan sudah ada kamu yang turun langsung. Bukan makan gaji buta, selama ada kamu disini kenapa tidak turun langsung juga."
"Kita habiskan dulu waktu berdua." ujarnya memohon.
Ku turuti saja permintaannya dengan hati terpaksa, ini bukan keadaan biasa yang kami lakukan. Tidak pernah aku berat hati menurutinya.
Kami memesan minuman untuk duduk santai di teras balkon hotel.
Terlintas di otakku untuk menanyakan sesuatu yang mengganjal sebelum surat cerai melayang di hubungan kami.
"Kenapa kamu tidak menceraikan ku dari awal?."
"Aku kira bisa ku selesaikan dengan cepat."
"Memang kamu mengurus kewarganegaraan?."
"Kenapa dengan mengurus kewarganegaraan?? Hanya butuh waktu satu atau dua bulan."
"Bukan negara."
"Lalu??."
"Akhirat. 12 tahun kamu mengurusnya. Itu sangat lama dan tidak masuk akal kan."
"Jika aku Tuhan, aku tidak akan membuat manusia karena pada akhirnya saja manusia tetap menjadi makhluk tempatnya dosa dan berbohong."
"Bersifatlah seperti Tuhan, memiliki kuasa tapi tidak semena-mena. Jadi kamu tidak bisa seenaknya membuat keluarga kecil kita hancur karena kesalahan kita dulu yang aku hamil di luar nikah. Aku juga tidak mau hamil sebelum nikah. Milikku adalah milikmu. Mindset ku adalah, aku ini sudah untuk mu dan aku tidak akan memberikannya ke orang lain. Membagi perasaan ku ke orang lain selain dirimu, anak-anak tidak masuk. Karena peranku ke mereka memang harus di sayang dan di cintai sebagai seorang ibu."
"Jangan membawa kata Tuhan.""Apa setelah bercerai kamu menikah dengan orang lain??."
"Kamu kemanakan pengacaraku?? Kapan kita bercerai jika kamu melakukan sesuatu yang membuat perceraian semakin mundur dan akhirnya hilang niatan ku untuk bercerai denganmu."
"Aku kan sudah bilang dia ada di Maldiv sedang berlibur."
"Tidak ada waktu untuk mencari yang serius setelah nanti bercerai. Bercerai denganmu itu bukan untuk mencari pasangan baru, tapi kamu sudah membuatku kecewa. Meskipun sudah memaafkan tetap saja rasa penyesalan itu selalu menghantui. Untuk apa berlama-lama lagi."
Mungkin hidung, telinga, dan suaraku sudah terlihat hampir jelas mulai mau menangis.
"Kita memang sudah tidak cocok kan dari dulu. Aku juga tidak ada niatan begitu dengan suamiku, tapi kamu menyakiti anakmu sendiri dengan berselingkuh. Kamu membenci ibu mu, tapi kamu tidak ada bedanya dengan pohon mu. Itu juga sangat menyakiti hatiku, ya aku munafik karena aku tidak mau Rowoon, Jaemin, Jennie di umur yang belum remaja saja orang tuanya sudah berpisah."
"Itu sudah banyak."
"Sudahlah aku lelah berbicara dengan orang bodoh seperti mu. Selama aku bisa mempertahankan kenapa tidak. Tapi kamu benar-benar bosan denganku."