prolog

324 14 0
                                    

"Jin, kita putus."

Langkah Sejin terhenti. Matanya membulat, menatap Felix dengan dahi berkerut. "K-kamu bercanda, kan?" suaranya sedikit bergetar.

Felix menggeleng pelan. "Enggak, aku serius." Dengan tatapan sendu, dia perlahan melepaskan genggaman tangan mereka.

Sejin terkekeh kecil, tapi terdengar gugup dan tak ikhlas. "Nggak usah bercanda kayak gini, Lix. Ini nggak lucu."

Felix tetap diam, matanya menatap Sejin dengan kesungguhan yang menyakitkan. "Aku nggak bercanda, Jin."

Hati Sejin mencelos. "Kenapa?" suaranya melemah. "Aku salah apa? Apa aku ada yang kurang?" Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari bibirnya, mencoba mencari jawaban yang bisa membuat semua ini masuk akal.

Felix menghela napas panjang. "Aku capek," katanya pelan. "Capek selalu diawasi. Aku ngerasa hubungan kita ini bukan cuma berdua, tapi ada orang ketiga yang selalu ikut campur."

Sejin mengerjap. "Orang ketiga?"

Felix mengangguk. "Kakak kamu, Jin. Soobin selalu ada di mana-mana. Setiap kita jalan, dia selalu ngikut. Setiap kita ngobrol, dia pasti muncul entah dari mana. Setiap aku chat kamu, pasti dia baca dulu sebelum kamu bales."

Sejin menggigit bibirnya. "Aku nggak bisa ngontrol dia, Lix. Aku juga risih, tapi dia kakakku…"

"Aku tahu, tapi aku nggak bisa terus kayak gini." Suara Felix melemah. "Aku nggak punya ruang. Aku selalu merasa dia mengawasiku, seolah-olah aku penjahat yang harus dia pantau setiap saat."

Air mata mulai menggenang di mata Sejin. "Aku bisa bicara sama dia, aku bisa minta dia berhenti, Lix. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Felix tersenyum tipis, tapi bukan senyum bahagia. "Udah terlambat, Jin. Aku udah terlalu lelah. Aku mau bebas. Aku mau pacaran tanpa ngerasa ada CCTV yang mantau setiap gerakanku."

Sejin mengepalkan tangan, mencoba menahan air matanya. Dia ingin protes, ingin meminta kesempatan lagi, tapi hatinya tahu Felix sudah membuat keputusan.

Felix mengangkat tangan, mengusap air mata yang jatuh di pipi Sejin dengan lembut. "Maaf ya, Jin." katanya lirih sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

Sejin hanya bisa berdiri diam, menatap punggung Felix yang semakin menjauh. Hatinya terasa kosong. Perlahan, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis dalam diam.

⋆.ೃ࿔*:・


Sejin membuka pintu rumah dengan ekspresi kesal. Sepanjang jalan tadi, tatapan orang-orang menusuknya karena wajahnya yang sembab akibat menangis. Tapi dia tidak peduli.

Begitu masuk, suara Soobin langsung menyambutnya dari ruang tamu. "Kenapa pulang kemaleman? Abis dari mana sama pacarmu itu? Bilangin dia kalo nganterin kamu, nggak usah malem-malem. Mending gue aja yang jemput!" katanya santai, menyesap kopi di tangannya.

Sejin hanya melirik sekilas sebelum mempercepat langkah menuju kamarnya.

Brak!

Soobin terdiam sesaat, lalu mengerutkan kening. Baru sadar kalau mata adiknya tadi sembab dan wajahnya merah.

Tanpa pikir panjang, dia berdiri dan berjalan menuju pintu kamar Sejin.

Tok! Tok! Tok!

"Jin? Kamu kenapa nangis?" tanyanya lembut sambil terus mengetuk pintu.

Dari dalam, suara Sejin terdengar pecah. "KAMU PIKIR AJA SENDIRI!"

Soobin terkejut. "Aku bikin salah apa?" tanyanya bingung.

Tidak ada jawaban, hanya suara tangisan yang semakin terdengar jelas.

Soobin mulai panik. "Jin, ayolah, buka pintunya! Ayo kita ngobrol!"

Hening.

Tiba-tiba, suara kunci diputar. Sejin membuka pintu dengan mata merah dan wajah penuh amarah.

Soobin langsung menatapnya cemas. "Jin, kamu kenapa sih?"

Tanpa berkata apa-apa, Sejin langsung menubruk kakaknya dalam pelukan. Soobin terkejut, tapi segera membalas pelukan itu dengan erat.

Namun, Sejin dengan cepat mendorong tubuh Soobin menjauh. "Kamu mau sampai kapan sih ikut campur dalam hidupku?!"

Soobin mengerutkan dahi. "M-maksud kamu?"

Sejin menatapnya tajam, air mata kembali mengalir di pipinya. "Kak Soobin selalu bikin aku putus sama pacar aku! Semua gara-gara sifat kakak yang terlalu protektif! Kakak sadar nggak?!"

Soobin terdiam.

"Aku suka Felix! Tapi dia pergi karena capek selalu diawasi kakak!" Suara Sejin bergetar, tangannya mengepal. "Aku capek, Kak! Aku pengen punya hubungan yang normal tanpa harus ngerasa diawasi setiap saat!"

Soobin masih terdiam. Untuk pertama kalinya, dia melihat Sejin begitu marah—begitu terluka.

Sejin menarik napas dalam, suaranya melemah. "Apa kakak pikir aku bakal berhenti sayang sama kakak kalau aku punya pacar?"

Soobin tersentak. Perlahan, dia menundukkan kepala, menatap lantai.

"Gue cuma… takut lo pergi, Jin," katanya pelan. "Takut lo nggak butuh gue lagi. Takut lo lebih milih orang lain dibanding gue…"

Sejin terisak. "Mana mungkin kayak gitu? Aku adikmu! Aku selalu sayang sama kakak!"

Soobin mengangkat wajahnya dan menatap Sejin penuh penyesalan. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik adiknya ke dalam pelukan.

Sejin tidak membalas, tapi juga tidak melepaskan diri.

Soobin mengeratkan pelukannya. "Maaf ya, Jin…" bisiknya. "Gue cuma mau jagain lo."

"Tapi aku juga butuh ruang, Kak…"

Hening.

Pelukan mereka masih erat. Hanya suara tangisan Sejin yang tersisa di antara keheningan malam itu.



❥•°❀°•༢

To Back Continue...

𝐒𝐮𝐝𝐝𝐞𝐧𝐥𝐲 | Choi Soobin ① ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang