Chapter 4 - Kepingan Memori

6.8K 1K 31
                                    

Playlist: James Blunt - You're Beautiful

• • 

 • BEN •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 • BEN 

Ann arbor, Summer four years ago...

How long is it supposed to take before you stop crying over a girl you lived for a half of your life?

Aku tahu, aku menggali kuburanku sendiri, saat aku mengakui perasaanku pada sahabatku—Alia. Tadinya kupikir, aku akan lebih tenang di saat aku mengatakannya. Aku memintanya berjanji agar sikapnya padaku tak berubah. Aku tahu itu permintaan paling tidak masuk akal yang pernah kuajukan padanya. Dia pernah bilang, tidak ada persahabatan yang akan tetap sama, ketika cinta masuk di dalamnya.

Meskipun Alia tidak terang-terangan menghindariku, tetapi sikapnya sudah tidak sesantai biasanya. Aku berharap dan berdoa supaya aku bisa sembuh dari patah hati akut. Kata Mama, doa itu harus yang spesifik, agar Tuhan lebih paham dengan apa yang kita minta dan mengabulkannya dengan mudah.

Aku masih ingat dengan jelas, tiga hari pertamaku di Ann Arbor. Saat musim panas sedang panas-panasnya. Aku berolahraga dengan berlari dari flat-ku menuju ke area kampus.

Kaus olahraga berwarna abu-abu tanpa lengan yang kukenakan, basah kuyup dan menempel di badanku seolah-olah kaus itu adalah bagian dari kulitku. Meskipun sejenak aku berhenti di trotoar untuk melepaskan sebentar sneakers-ku agar kedua kakiku bisa sedikit bernapas, bahkan telingaku yang tersumpal earpod melantunkan lagu Calais to Dover dari Bright Eyes, tidak bisa melepaskanku dari panas yang menyengat saat itu.

Dengan badan yang bercucuran keringat, aku ingin mendinginkan kepala dan kulitku yang tersengat matahari, sambil berdoa dalam hati, doa yang spesifik itu—berharap bahwa ada the next Alia, yang bisa membuatku lebih hidup dan bersemangat untuk menjalani hari-hari seperti biasanya.

Aku memutuskan mampir ke Starbucks terdekat untuk memesan satu gelas venti iced green tea with lemon. Begitu minuman dingin menghiasi lidahku, aku merasa kulitku sudah bisa menguap karena lega.

"Need a refill?"

Aku meninggalkan pandanganku dari jendela dan kembali ke barista yang menunjuk ke gelasku yang kosong.

Biasanya mereka tidak menawarkan itu. Rupanya aku sudah menghabiskan segelas ice green tea itu jauh lebih cepat dari yang kuduga.

"I'm good, thanks though." Aku tersenyum sopan dan memberikan anggukan cepat.

Sebelum membuang gelas plastik ke dalam sampah aku meletuskan bagian atasnya untuk mengambil satu biji es untuk dikunyah. Bahkan satu biji es itu saja hampir tidak membuatku cukup dingin untuk berjalan menyusuri trotoar ke area kampus.

Between the Lines [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang